Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fikih. Tampilkan semua postingan

Buku Fiqih Doa dan Dzikir jilid 1 (dari 2 ) Harga Rp 100.000

Fiqih Doa dan Dzikir jilid 1 (dari 2)

- Penulis Buku:
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr
- Penerjemah:
Amiruddin Djalil, Lc.
- Halaman Buku:
xiv + 650 hlm
- Ukuran Buku:
15,5 cm X 24,5 cm
- Jenis:
Hard Cover
Allah subhanahu wa Ta'ala berfirman: Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ketahuilah, dengan sebab dzikir kepada Allah, hati menjadi tenteram. (Ar-Rad: 28)
Rasulullah shallallaahu˜alaihi wa sallam bersabda:Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan mayit. (HR. Al-Bukhari)
Ibnu Abbas radhiyallahu ˜anhuma berkata: œSetan adalah jatsim (mendekam dan menetap) dalam hati keturunan Adam. Apabila seseorang lupa dan lalai, niscaya setan memberi was-was. Tapi jika dia dzikir pada Allah, setan menjadi khanas (menahan diri dari mengganggunya).
Lalu, apakah arti penting dzikir kita kepada Allah? Apakah manfaatnya? Bagaimana tata cara berdzikir yang dicontohkan oleh Nabi? Apakah syarat diterimanya amalan dzikir? Apakah perbedaan dzikir dan doa? Dan sederet pertanyaan lain yang mungkin membuat kita penasaran.
Insya Allah, di dalam buku ini terdapat jawabannya. Selamat membaca.


Buku Mulakhkhas Fiqhi ( Jilid 1 ) - Harga Rp 119.500 -

Setelah melandasi hidup dengan aqidah yang benar, dalam menjalani tujuan keberadaannya di muka bumi ini, -yaitu semata untuk beribadah kepada Allah- seorang muslim dituntut untuk melakukan ibadah tersebut sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar ibadah tersebut diterima Allah Subhanahuwata’ala. Sebab, amal perbuatan seseorang, sebaik apapun itu, tidak akan diterima Allah selama tidak dilandasi oleh 2 hal; Pertama : dilakukan dengan ikhlash semata karena Allah. Kedua : Mutaba’ah, yaitu mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karenanya, ibadah pada dasarnya adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pintu tentang ibadah tertutup rapat. Suatu amalan tidak dapat disebut sebagai ibadah apabila tidak disyari’atkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan amalan tersebut akan menjadi sia-sia, tertolak dan tidak diterima di sisi Allah Subhanahuwata’ala.

Karenanya, seorang muslim dituntut untuk mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah tersebut, sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar ibadah yang dilakukannya benar dan diterima di sisi Allah Subhanahuwata’ala.

Buku ini, merupakan salah satu buku fiqih ibadah terbaik, diantara buku-buku fiqih ibadah yang ada. Penulisnya adalah seorang ulama besar kenamaan kontemporer, yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya. Sesuai dengan namanya, ‘Mulakhkhas Fiqhi’, yang berarti ‘Fiqih Ringkas’, buku ini ditulis dengan ringkas dan sistimatis, dan dengan bahasa yang sangat mudah difahami, serta didukung dengan dalil pada setiap pembahasannya, juga dirujukkan takhrij hadits-haditsnya pada buku-buku Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Syaikh Syu’aib al-Arna-uth, sehingga menjadikan buku ini sangat istimewa dan pantas anda miliki, untuk menambah koleksi perpustakaan pribadi anda, atau dijadikan sebagai bahan kajian. Dengan membaca buku ini, insya Allah anda akan terbimbing melakukan ibadah dengan benar, sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tanya Jawab MENGURUS JENAZAH

Harga : Rp 30,000
Penulis : Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz

Buku ini merupakan kumpulan tanya jawab seputar jenazah yang ditanyakan masyarakat kepada Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz, mufti besar Kerajaan Arab Saudi. Semua pertanyaan dijawab oleh Syaikh dengan singkat dan padat, disertai dalil-dalil dari Al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih dan kuat.

Buku ini memuat 179 pertanyaan seputar jenazah beserta jawabannya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah yang shahih dan amalan para ulama generasi salaf. Di antara pertanyaan-pertanyaan yang terekam di dalamnya adalah seperti berikut ini:
Bolehkah mencium orang yang sudah meninggal dunia?
Bagaimanakah seharusnya mentalkinkan orang yang sekarat?
Bolehkah suami memandikan jenazah istri yang telah diceraikannya?
Bagaimana cara memandikan jenazah yang rusak tubuhnya?
Siapakah yang lebih utama menjadi imam shalat jenazah, imam masjid atau wali mayit?
Apa hukum melaksanakan shalat ghaib dan bagaimanakah caranya?
Apakah jenazah janin juga harus dishalatkan?
Mengapa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak menshalatkan jenazah orang yang berutang?
Apakah ikatan kafan di kuburan boleh dilepas­kan?
Apa hukum adzan dan iqamat ketika menguburkan jenazah?
Bolehkah menguburkan jenazah pada malam hari?
Bolehkah menguburkan jenazah perempuan dan laki-laki dalam satu liang kubur?
Apa hukum ziarah kubur bagi wanita?
Apabila tulang-tulang mayit sudah hancur, bolehkah dipindahkan ke tempat lain?
Bagaimana hukum membeli mayat untuk keperluan autopsi (penelitian medis)?
Kewajiban apa sajakah yang harus dilaksanakan oleh wanita yang ditinggal mati suaminya?
’Iddah wanita pekerja di luar rumah.
Dan, masih banyak lagi soal-soal seputar jenazah yang lain.
Anda penasaran ingin tahu jawabannya? Silakan baca buku ini, Anda akan
temukan semua jawabannya.
Selamat membaca


buku pintar MASJID

Harga : Rp 60,000
Penulis : Syaikh 'Abdullah bin Shalih al-Fauzan

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. at-Taubah:18)

Membangun masjid dengan tujuan mencari ridha Allah Ta'ala adalah perbuatan mulia. Namun, memakmurkannya dengan berbagai aktifitas ibadah di dalamnya dan menjaga adab-adab serta menegakkan hukum-hukumnya tidaklah kalah pentingnya. Sebab masjid didirikan bukan untuk tujuan lain kecuali beribadah kepada Allah Ta'ala.
Agar dapat memakmurkan masjid dengan benar, umat Islam harus belajar ilmu tentang seluk beluk hukum dan adab-adab di masjid. Dalam hal ini telah banyak ulama Muslimin yang menuangkan buah pena mereka dalam sebuah buku yang menginformasikan tentang masjid dan sebagainya.
Buku ini ditulis untuk menyampaikan keprihatinan penulisnya terhadap fenomena masjid dan umat Islam akhir-akhir ini sekaligus memberikan penyuluhan terhadap umat Islam dalam urusan masjid mereka. Penulis melihat umat Islam membangun dan mendatangi masjid karena faktor budaya dan rutinitas yang kosong dari semangat dan makna.
Buku ini diharapkan dapat membantu mereka memperbaiki kondisi umat ini dan mengembalikan fungsi masjid dan kemuliaannya sebagaimana dulu di zaman salafus shalih sehingga pengaruhnya dapat dirasakan dalam kehidupan umat ini. Wallahu A’lam ...
Selamat membaca!


Hukum Sutroh


Pertanyaan : Ustadz apakah benar bahwasanya para ulama telah berijmak bahwa sutroh hukumnya sunnah dan tidak wajib? Mohon penjelasannya.
Jawab :
Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Telah terjadi dialog yang cukup hangat dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html). Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini. Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu fiihimaa.
Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.
Ibnu Hazm berkata,
إِذَا صَحَّ الإِجْمَاعُ فَقَدْ بَطَلَ الخِلاَفُ، ولا يَبْطُلُ ذلك الإجماعُ أبداً
"Jika telah sah suatu ijmak maka telah batal khilaf (perselisihan), dan tidak terbatalkan ijmak tersebut selamanya (dengan muncul khilaf setelah itu -pent)" (Marootibul Ijmaa' hal 27)
Beliau juga berkata,
ومن شرط الإجماع الصحيح أن يكفَّر من خالفه بلا خلاف بين أحد من المسلمين في ذلك
"Dan diantara syarat Ijmak yang sah adalah dikafirkannya orang yang menyelisihi ijmak tersebut, tidak ada khilaf di antara kaum muslimin dalam hal ini" (Marootibul Ijmak 27)
Ibnu Taimiyyah berkata
ولهذا يجب عليهم تقديم الإجماع على ما يظنونه من معانى الكتاب والسنة
Oleh karenya wajib bagi mereka untuk mendahulukan ijmak dari pada apa yang mereka persangkakan berupa makna-makna dari Al-Kitab dan As-Sunnah (Majmuu' Al-Fataawa 22/368)
Oleh karenanya sebagian Ahlul Bid'ah berusaha untuk menolak Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan ijmak yang batil, sebagaimana dilakukan oleh Bisyr Al-Mirrisiy salah seorang gembong Jahmiyyah.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Dan tatkala tumbuh metode seperti ini maka lahirlah darinya penolakan nash-nash (dalil-dalil) dengan ijmak yang majhul, dan terbukalah pintu untuk mendakwahkan adanya ijmak. Maka jadilah orang dari kalangan para tukang taqlid yang tidak mengetahui adanya khilaf jika didebat dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ia akan berkata, "Ini bertentangan dengan Ijmak".
Hal inilah (penolakan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan dalil ijmak yang majhul-pent) yang telah diingkari oleh para imam Islam, dan mereka mencela dari segala sisi terhadap orang yang melakukannya. Mereka mendustakan orang yang mendakwahkan ijmak yang majhul ini. Imam Ahmad berkata –sebagaimana diriwayatkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad-,
من ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ لَعَلَّ الناس اخْتَلَفُوا هذه دَعْوَى بِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ وَالْأَصَمِّ وَلَكِنْ يقول لَا نَعْلَمُ الناس اخْتَلَفُوا أو لم يَبْلُغْنَا
Barangsiapa yang menyatakan ijmak maka dia adalah pendusta, mungkin saja orang-orang berselisih. Ini adalah metode Bisyr Al-Marrisiy dan Al-Asom, akan tetapi (hendaknya) berkata : "Kami tidak tahu kalau ada perselisihan diantara manusia", atau : "Tidak sampai kepada kami adanya perselisihan dalam permasalahan ini" (I'laamul Muwaqqi'iin 3/558-559)
Ibnu Taimiyyah berkata,
قال الإمام أحمد: "من ادعى الإجماع فهو كاذب. فإنما هذه دعوى بشر وابن علية يريدون أن يبطلوا السنن بذلك". يعني الإمام أحمد أن المتكلمين في الفقه من أهل الكلام إذا ناظرتهم بالسنن والآثار، قالوا: "هذا خلاف الإجماع"
"Imam Ahmad berakta, Barangsiapa yang menyerukan ijmak maka ia adalah pendusta, ini hanyalah merupakan metodenya Bisyr Al-Mirriisiy dan Ibnu 'Ulaiyyah, mereka ingin membatalkan sunnah dengan dakwah ijmak tersebut. Maksud Imam Ahmad adalah para pembicara dalam permasalahan fiqh dari kalangan ahli filsafat jika engkau mendebat mereka dengan dalil sunnah dan atsar maka mereka akan berkata, "Ini menyelisihi ijmak" (Al-Fataawa Al-Kubroo 3/370)
Oleh karenanya seseorang hendaknya berhati-hati dalam menukil permasalahan ijmak. Bahkan jika ia menemukan ada seorang yang alim mendakwahkan ijmak maka hendaknya ia tetap berusaha mengecek akan kebenaran ijmak tersebut, kecuali jika yang menyerukan ijmak adalah banyak dari kalangan para ulama, dan mereka menyerukan ijmak dengan lafal yang shorih (lafal yang tegas).
Karena sebagian ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak sebagaimana diingatkan oleh para ulama.

Apakah benar merupakan ijmak para ulama bahwa hukum sutroh bagi orang yang sholat adalah sunnah dan tidak wajib?
Sebagian orang memandang bahwa permasalahan sunnahnya sutroh merupkan permasalahan yang telah ijmak dikalangan para ulama. Mereka berdalil dengan penukilan ijmak dari dua ulama besar
Yang pertama : Perkataan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, dimana ia berkata :
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا
"Dan para ulama –seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutroh untuk diletakan antara orang yang sholat dengan kiblat, baik jika sedang sholat sendirian atau tatkala menjadi imam" (Bidaayatul Mujtahid 1/82).
Demikian juga Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata,
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)

Komentar terhadap Ijmak Ibnu Rusyd rahimahullah :
Adapun Ibnu Rusyd maka beliau –rahimahullah- dikenal termasuk para ulama yang tasaahul (mudah) dalam mendakwahkan ijmak. Diantara para ulama yang mudah mengutarakan ijmak adalah :
-         Ibnu Jarir At-Tobari  (lihat penjelasan as-Syinqiithy dalam Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 274)
-         Ibnu Abdil Barr, beliau sering mengutarakan ijmak namun ternyata banyak yang tidak benar, bahkan khilaf yang terjadi sangat masyhuur (lihat kitab Ijmaa'aat Ibni Abdil Barr fil 'Ibaadaat, karya Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi). Padalah Ibnu Abdil Barr sangat dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Mudahnya beliau menukilkan ijmak karena beliau menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang tidak merusak ijmak.
-         Ibnu Rusyd (Al-Jad) sebagaimana hal ini diingatkan oleh para ulama Maliikyah
-         Ibnu Rusyd Al-Hafiid (lihat risaalah 'ilmiyaah Magister dengan judul Ijmaa'aat Ibni Rusyd Al-Hafiid qismil 'Ibaadaat min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid, karya Ibnu Faaizah Az-Zubair), dan diantara kesimpulan yang diambil oleh penulis bahwasanya penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak merusak ijmak (lihat hal 108)
Para ulama memandang ketiga ulama ini (yaitu Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd) sebagai orang-orang yang tasahul (mudah) dalam menukil ijmak karena ketiga ulama ini memiliki madzhab yang sama dalam masalah ijmak. Yaitu mereka menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak mempengaruhi terjadinya ijmaak. Dan madzhab ini adalah madzhab sebagian ulama Malikiah. Adapun madzhab jumhur ulama maka ijmak yang seperti ini bukanlah ijma'.
Dari sini kita pahami bahwa ijmak yang diserukan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan hujjah karena madzhab beliau tentang masalah ijmak bukan madzhab jumhur ulama.

Komentar terhadap ijmak Ibnu Qudaamah rahimahullah
Komentar mengenai pernyataan Ibnu Qudamah dari beberapa sisi :
Pertama : Lafal yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dalam masalah sutroh adalah lafal yang menunjukan nafyul khilaaf.Beliau berkata
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Para ulama telah menjelaskan bahwasanya lafal seperti ini merupakan lafal yang tidak shorih (tidak jelas dan tidak tegas) dalam penyebutan ijmak. Lafal seperti ini masih lebih lemah dari pada lafal أَجْمَعُوا (para ulama telah berijmak) dan juga lebih lemah dari perkataan اتَّفَقُوْا (para ulama telah bersepakat). Bahkan sebagian ulama seperti As-Soyrofi dan Ibnu hazm tidak menganggap lafal seperti ini merupakan ijmak.
Kedua : Perkataan Ibnu Qudamah mengandung dua kemungkinan:
-         Kemungkinan pertama maksud beliau –rahimahullah- adalah kesepakatan para ulama bahwa hukumnya sunnah (tidak wajib)
-         Kemungkinan kedua adalah maksud beliau –rahimahullah- adalah para ulama telah sepakat akan disyari'atkannya perkara tersebut, terlepas apakah perkara tersebut hukumnya wajib atau sunnah
Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan kemungkinan ke dua :
Contoh pertama :
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ولو استأذن البكر البالغة والدها كان حسنا )
لا نعلم خلافا في استحباب استئذانها فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمر به ونهى عن النكاح بدونه وَأَقَلُّ أحوال ذلك الاستحباب ولأن فيه تطييب قلبها وخُرُوْجًا مِنَ الْخِلاَفِ
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : "Kalau seandainya sang ayah meminta izin putrinya yang telah baligh (untuk dinikahi oleh pelamar -pent) maka hal itu lebih baik"
(Berkata Ibnu Qudamah) : Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya meminta idzin kepada putri yang telah baligh, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamtelah memerintahkannya dan melarang pernikahan tanpa izin sang putri baligh. Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab dan pada hal itu menyenangkan hati sang putri dan agar keluar dari khilaf" (Al-Mughni 7/33)
Perhatikan : perkataan Ibnu Qudaamah "Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab" memberi isyarat akan adanya hukum yang lebih tinggi dari istihbab yaitu wajib. Dan perkataan beliau "agar keluar dari khilaf" menunjukan ada khilaf di kalangan para ulama tentang permasalahan ini.
Dan kenyataannya memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh para ulama bahkan mashyur adanya khilaf diantara para ulama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa meminta idzin kepada putri yang telah baligh (dewasa) untuk menikahkannya adalah wajib hukumnya. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hanabilah sebagaiman Ibnu Qudaamah.
Ibnu Taimiyyah berkata :
الْمَرْأَةُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ بِغَيْرِ إذْنِهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، بَلْ وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي أَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ، بَلْ فِي أَصَحِّهِمَا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ فِي أَحَدِ الرِّوَايَتَيْنِ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Wanita yang baligh (dewasa) maka selain ayahnya dan selain kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa idzin sang wanita, hal ini dengan kesepakatan para imam. Bahkan demikian juga sang ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan idzin sang wanita menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, bahkan ini menurut pendapat yang terbenar diantara kedua pendapat, dan ini merupakan madzhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : Tidaklah dinikahkan wanita perawan sampai dimintai idzin…"(Al-Fataawaa Al-Kubroo 3/82)
Contoh kedua :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ويقول عند الذبح بسم الله والله أكبر وإن نسي فلا يضره )   ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا ذبح قال بسم الله والله وأكبر وفي حديث أنس وسمى وكبر
وكذلك كان يقول ابن عمر وبه يقول أصحاب الرأي ولا نعلم في استحباب هذا خلافا
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : (Dan dia tatakala menyembelih mengucapkan Bismillah wallahu Akbar, dan jika dia lupa maka tidak mengapa).
(Ibnu Qudamah berkata) : Telah sah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika menyembelih maka beliau berkata : Bismillah wallahu Akbar. Pada hadits Anas (bin Malik) : Nabi menyebut nama Allah dan bertakbir.
Demikian juga Ibnu Umar ia mengucapkan demikian, dan ini merupakan pendapat Ashaab Ar-Ro'y, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini..." (Al-Mughni  9/361)
Tentunya tidak diragukan lagi bahwa menyebut nama Allah tatkala menyembelih hukumnya adalah wajib dan bukan mustahab menurut jumhur ulama (diantaranya madzhab Hanabilah). Ibnu Taimiyyah berkata
وَالتَّسْمِيَةُ عَلَى الذَّبِيحَةِ مَشْرُوعَةٌ، لَكِنْ قِيلَ: هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَقِيلَ: وَاجِبَةٌ مَعَ الْعَمْدِ، وَتَسْقُطُ مَعَ السَّهْوِ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ
"Dan menyebut nama Allah tatkala menyembelih disyari'atkan, akan tetapi dikatakan hukumnya adalah mustahab sebagaimana perkataan As-Syafi'i, dan dikatakn (juga) hukumnya adalah wajib jika ingat dan jika lupa maka tidak wajib sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad" (Al-Fataawaa Al-Kubroo 5/69)

Contoh ketiga :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
ولا يجب أن يحضر الإمام ولا الشهود وبهذا قال الشافعي وابن المنذر وقال أبو حنيفة إن ثبت الحد ببينة فعليها الحضور والبداءة بالرجم وإن ثبت باعتراف وجب على الإمام الحضور والبداءة بالرجم ...ولأنه إذا لم تحضر البينة ولا الإمام كان ذلك شبهة والحد يسقط بالشبهات
قال أحمد سنة الاعتراف أن يرجم الإمام ثم الناس، ولا نعلم خلافا في استحباب ذلك
"Dan tidak wajib bagi imam maupun para saksi untuk menghadiri (hukum had) dan ini merupakan pendapat As-Syafi'i dan Ibnul Mundzir. Abu hanifah berkata, "Jika hukum had ditegakkan karena ada bukti (para saksi) maka wajib bagi para saksi untuk hadir dan mereka yang wajib memulai pelemparan rajam, dan jika hukum had tegak karena pengakuan maka wajib bagi imam untuk hadir dan dialah yang memulai pelemparan rajam… karena jika para saksi tidak hadir demikian juga imam tidak hadir maka hal ini merupakan syubhat dan hukum had menjadi gugur dengan adanya syubhat…
Imam Ahmad berkata : "Sunnahnya pengakuan adalah imam yang merajam kemudian diikuti oleh orang-orang". Dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini" (Al-Mughni 9/47)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Ibnu Qudamah menyampaikan bahwasanya beliau tidak tahu adanya khilaf tentang istihbabnya hadirnya imam jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Padahal sebelumnya Ibnu Qudamah telah menukil pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau mewajibkan imam untuk hadir (dan bukan sunnah) jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Dengan demikian maka maksud dari perkataan Ibnu Qudaamah "istihbaab" adalah "disyari'atkannya".
Dari tiga contoh diatas sangatlah jelas bahwasanyan perkataan Ibnu Qudaamah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf akan istihbabnya hal ini" maksudnya adalah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang disyari'atkannya hal ini", bisa jadi hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib sebagaimana pada tiga contoh diatas. Jika ternyada ada ihtimal (kemungkinan) yang kedua ini maka gugurlah pemahaman bahwa Ibnu Qudaamah mendakwahkan ijmak ulama bahwa sutroh hukmnya mustahab dan tidak wajib. Wallahu A'lam bis Showaab.
Ketiga : Buku-buku yang khusus mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama seperti kitab Al-Ijmaa' karya Ibnul Mundziir dan juga Marootib Al-Ijmaa' karya Ibnu Hazm tidak menyebutkan adanya ijmak akan mustahabnya sutroh dan tidak wajib. Demikian halnya mayoritas ulama mu'aashirin (zaman sekarang) seperti Syaikh Al-'Utsaimiin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Fauzaan, Al-Lajnah Ad-Daaimah tidak menukil ijmak tentang permasalahan ini. Hal ini menunjukan bahwa ijmak dalam masalah ini tidak valid dan tidak sah, paling banter ijmaknya tidak qoth'i tapi hanyalah dzhonniy
Berkata Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi,
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus ijmak qoth'iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth'iy adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak sukuutiy" (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445)
Beliau juga berkata,
واعلم إن الإجماع الذي يذكر الأصوليون تقديمه على النص هو الاجماع القطعي خاصة وهو الاجماع القولي المشاهد أو المنقول بعدد التواتر ، أما غير القطعي من الاجماعات كالسكوتي والمنقول بالآحاد فلا يقدم على النص
"Ketahuilah bahwasanya ijmak yang disebutkan ohel para ahli ushuul didepankan dari pada nas adalah khusus ijmak qot'iy, yaitu ijmak qouliy yang dilihat atau dinukil dengan jumlah mutawatir, adapun ijmak-ijmak yang tidak qot'iy seperti ijmak sukuutiy atau ijmak yang dinukil dengan ahad maka tidak didahulukan di atas nash" (Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 535)

Kesimpulan :
Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya, oleh karenanya ini merupakan permasalahn khilafiyah ijtihadiyah. Karenanya pentarjihan dalam masalah ini kembali pada pembahasan tentang permasalahan dalil. Maka pihak yang dalil dan hujjahnya lebih kuat maka itulah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a'lamu bisshowaab.

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 07 Dzul Qo'dah 1431 H / 15 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Marooji'
1-    Marootibul Ijmaa' fil 'Ibaadaat wal Mu'aamalaat wal I'tiqoodaat, Ibnu Hazm, tahqiq : Hasan Ahmad isbir, Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama (1419 H-1998 M)
2-    Ijmaa'aat Ibni 'Abdil Barr fil 'Ibaadaat, Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi, Daar At-Thoibah, cetakan pertama (1420 H-1999 M)
3-    Ijmaa'aat Ibni Rusyd (Al-Hafiid) –qismil 'Ibaadaat- min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid wa Nhaayatul Muqtshid, Bin Faizah Az-Zubair, Isyroof DR Kamaal Buzaid
4-    Mudzakkiroh Ushuul Al-Fiqh, Muhammad Al-Amiin As-Syingqiithiy, tahqiq : Abu Hafsh Saamii Al-'Arobiy, Daar Al-Yaqiin, cetakan pertama (1419 H-1999 M)

Bolehkah Jilbab Berwarna Kuning Atau Yang Lainnya?

Pertanyaan :

Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :

1. Bolehkah wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?

2. Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?

Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron



Jawab :

Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas. Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.

Pertanyaannya :

Sebagian wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang warnanya berbeda dengan warna 'abaa'ah (jilbab bagian bawah-pent), terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari'atkan?, semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.

Jawaban beliau –hafidzohulloh- :

Segala puji bagi Allah Robbul 'aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.

Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :

Pertama : khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya, sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah berfirman :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya" (QS An-Nuur : 31)
...


Kedua : Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum wanita.

Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :

Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah –radhiallahu 'anhaa- ia berkata

:« لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأكْسِيَةِ »

Tatkala turun firman Allah (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada pakaian seperti burung-burung gagak" (HR Abu Dawud no 4101 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah hal 82)

Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.

Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata

« أُتي النبيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »

Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, "Menurut kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?". Orang-orang pada diam, lalu Nabi berkata, "Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !", maka didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan berkata, "Bajumu sudah usang, gantilah bajumu". Pada kain tersebut ada garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485, Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517)

Adapun warna hijau untuk pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa'ah menceraikan istrinya maka istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah radhiallahu 'anhaa berkata, وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها خُضرةً بجلدها.. "Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna kehijau-hijauan di kulitnya…." (HR Al-Bukhari no 5487)

Adapun pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhu, ia berkata :

رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang mu'ashfar. Maka Nabi berkata, "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?". Aku berkata, "Aku cuci kedua baju ini?", Nabi berkata, "Bahkan bakarlah kedua baju itu" (HR Muslim no 5436)

Dan yang dimaksud dengan dua buah baju mu'ashfar adalah dua baju yang dicelup dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang sabda Nabi "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?" : Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak mereka" (Syarh Shahih Muslim 14/55), beliau juga berkata : "Adapun perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita melepaskan onta tersebut…"
Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ، فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ لِلنِّسَاءِ »

“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 4066).
Adapun pakaian berwarna putih maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم

"Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih" (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah hal 82)

Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhumaa ia berkata
وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا

Adapun warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan pakaian dengan warna kuning" (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772, Ahmad no 5316). Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna kuning, bahkan sorban beliau juga" (HR Abu Dawud no 4064)
Hadits-hadits diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau, dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya, kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.

Dan perlu untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik perhatian) atau yang menyala (mengkilat) yang dipakai oleh para wanita pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa membangkitkan gejolak syahwat. Demikian juga halnya dengan warna-warna pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama'ah-jama'ah keagamaan, maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri jama'ah-jama'ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid'ah dalam agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada syirik mahabbah dan ta'dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang bukan pada tempatnya.

(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus Al-Jazaairi no 992)


Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?

Beliau –rahimahullah- menjawab :

"Seakan-akan penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh penduduk Arab Saudi-pent). Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai. Adapun jika pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang terlarang" (Fatwa Nuur "alaa Ad-Darb)

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 03 Dzul Qo'dah 1431 H / 11 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Metode Pengobatan Nabi

- Penulis Buku:
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
- Penerjemah:
Abu Umar Basyir
- Halaman Buku:
xx + 508
- Ukuran Buku:
15,5 cm x 24,5 cm
- Jenis:
Hard Cover
Harga : Rp 80.000,-

Dewasa ini sedang trend istilah pengobatan alternatif. Menurut hemat kita sebagai umat Islam, istilah itu kurang cocok. Karena, itu berarti ada unsur pendewaan terhadap berbagai bentuk pengobatan modern, sehingga selain itu disebut alternatif! Pada dasarnya, ajaran Islam amat sarat dengan metodologi seputar pengobatan, baik berupa formula umum maupun petunjuk praktis. Seyogianya, semua itu dipelajari oleh kaum Muslimin, agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, penguasaan terhadap seluruh metodologi kenabian dalam pengobatan hanya bisa sempurna dipahami bila kita memahami perkembangan ilmu kedokteran secara umum. Hadirnya buku ini adalah sumbangsih dari seorang ulama besar Islam sekaligus pakar ilmu kedokteran di zamannya: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
Melalui buku ini, para pembaca bisa meneropong perkembangan ilmu kedokteran yang selalu berjalan seiring dengan perkembangan jenis penyakit, dan pengobatan Islam selalu menjadi pionirnya. Memang sulit dipercaya, kecuali oleh orang yang memiliki dasar keimanan yang kuat. Terutama sekali bagi mereka yang mau mempelajari metode Islam dalam pengobatan secara serius.
Membaca buku ini akan menambah keimanan kita terhadap kebenaran ajaran Islam. Lebih dari itu, dengan segala keterbatasan yang ada, kita pun bisa memetik banyak pelajaran tentang metodologi yang optimal dalam menjaga dan memelihara kesehatan serta memerangi berbagai macam penyakit, apapun adanya. Silakan menyimaknya.


Fikih Wanita

- Penulis Buku:
Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim
- Penerjemah:
M. Taqdir Arsyad
- Halaman Buku:
xxxii + 672 hlm
- Ukuran Buku:
15,5 cm X 24,5 cm
- Jenis:
Hard Cover
Harga : Rp 110.000,-

Tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan ibadah kepada Allah memiliki syarat-syarat, rukun-rukun, dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi demi kesempurnaan ibadah tersebut. Jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah mempelajari langsung dari sumbernya. Oleh karena itulah, menuntut ilmu diwajibkan kepada kaum Muslimin dan Muslimat. Bahkan, Imam Ibnul Jauzi berkata, Perempuan adalah orang yang diberi beban syariat sama dengan laki-laki. Mereka diwajibkan menuntut ilmu yang wajib mereka ketahui agar mereka merasa yakin dalam menjalankan ibadahnya.
Para wanita (sahabiyah) di zaman Rasulullah menghadiri majelis-majelis ilmu. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin diajukan oleh perempuan-perempuan zaman sekarang karena malu. Sampai-sampai Aisyah radhiyallahu anha memuji para sahabiyah ini dengan mengatakan, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak pernah menghalangi mereka untuk belajar (memahami) agama.(Shahih Muslim)
Buku ini, Fiqih Sunnah Wanita, merupakan sebuah usaha penulis yang insya Allah dipenuhi oleh keberkahan dalam meniti jalan para salafush shalih. Dalam buku ini, penulis mengumpulkan berbagai macam pengetahuan agama yang sangat penting dan harus diketahui oleh wanita Muslimah. Penulis menerapkan metode penulisan yang sangat baik dengan menyajikan istilah-istilah yang mudah dipahami, urutan-urutan yang baik dan keshahihan dalil-dalil. Beliau juga selalu mengembalikan pemahamannya kepada pendapat-pendapat ulama salaf rahimahumullah. Penulis tidak berpanjang lebar dalam pembahasan untuk menghindari kebosanan. Tidak juga terlalu ringkas sehingga melewatkan poin-poin penting. Alhasil, buku ini perlu untuk dijadikan pegangan wanita Muslimah dalam menjalankan segenap ibadah kepada Allah Ta'ala. Selamat membaca.