Tampilkan postingan dengan label Konsultasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konsultasi. Tampilkan semua postingan

Hukum Sutroh


Pertanyaan : Ustadz apakah benar bahwasanya para ulama telah berijmak bahwa sutroh hukumnya sunnah dan tidak wajib? Mohon penjelasannya.
Jawab :
Alhamdulillah, semoga salawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Telah terjadi dialog yang cukup hangat dan menarik antara dua saudara dan sahabat saya yang mulia tentang permasalahan ini –semoga Allah menambah ilmu mereka dan memberi taufiq kepada mereka berdua- (lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/10/apa-hukum-sutrah-dalam-shalat.html). Inilah yang mendorong saya untuk menulis tentang permasalahan ini. Semoga bisa menjadi masukan bagi kedua saudara saya tersebut, dan semoga mereka berdua juga bisa memberi masukan bagi saya baarokallahu fiihimaa.
Para pembaca yang budiman, sebagaimana diketahui bersama bahwa ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam, bahkan pendalilan dengan ijmak lebih didahulukan (yiatu tentu jika ijmak tersebut bersandar kepada dalil kitab atau sunnah) daripada pendalilan hanya dengan sekedar Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena jika telah terbukti adanya suatu ijmak maka akan memutuskan perdebatan dan perselisihan.
Ibnu Hazm berkata,
إِذَا صَحَّ الإِجْمَاعُ فَقَدْ بَطَلَ الخِلاَفُ، ولا يَبْطُلُ ذلك الإجماعُ أبداً
"Jika telah sah suatu ijmak maka telah batal khilaf (perselisihan), dan tidak terbatalkan ijmak tersebut selamanya (dengan muncul khilaf setelah itu -pent)" (Marootibul Ijmaa' hal 27)
Beliau juga berkata,
ومن شرط الإجماع الصحيح أن يكفَّر من خالفه بلا خلاف بين أحد من المسلمين في ذلك
"Dan diantara syarat Ijmak yang sah adalah dikafirkannya orang yang menyelisihi ijmak tersebut, tidak ada khilaf di antara kaum muslimin dalam hal ini" (Marootibul Ijmak 27)
Ibnu Taimiyyah berkata
ولهذا يجب عليهم تقديم الإجماع على ما يظنونه من معانى الكتاب والسنة
Oleh karenya wajib bagi mereka untuk mendahulukan ijmak dari pada apa yang mereka persangkakan berupa makna-makna dari Al-Kitab dan As-Sunnah (Majmuu' Al-Fataawa 22/368)
Oleh karenanya sebagian Ahlul Bid'ah berusaha untuk menolak Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan ijmak yang batil, sebagaimana dilakukan oleh Bisyr Al-Mirrisiy salah seorang gembong Jahmiyyah.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Dan tatkala tumbuh metode seperti ini maka lahirlah darinya penolakan nash-nash (dalil-dalil) dengan ijmak yang majhul, dan terbukalah pintu untuk mendakwahkan adanya ijmak. Maka jadilah orang dari kalangan para tukang taqlid yang tidak mengetahui adanya khilaf jika didebat dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka ia akan berkata, "Ini bertentangan dengan Ijmak".
Hal inilah (penolakan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan dalil ijmak yang majhul-pent) yang telah diingkari oleh para imam Islam, dan mereka mencela dari segala sisi terhadap orang yang melakukannya. Mereka mendustakan orang yang mendakwahkan ijmak yang majhul ini. Imam Ahmad berkata –sebagaimana diriwayatkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad-,
من ادَّعَى الْإِجْمَاعَ فَهُوَ كَاذِبٌ لَعَلَّ الناس اخْتَلَفُوا هذه دَعْوَى بِشْرٍ الْمَرِيسِيِّ وَالْأَصَمِّ وَلَكِنْ يقول لَا نَعْلَمُ الناس اخْتَلَفُوا أو لم يَبْلُغْنَا
Barangsiapa yang menyatakan ijmak maka dia adalah pendusta, mungkin saja orang-orang berselisih. Ini adalah metode Bisyr Al-Marrisiy dan Al-Asom, akan tetapi (hendaknya) berkata : "Kami tidak tahu kalau ada perselisihan diantara manusia", atau : "Tidak sampai kepada kami adanya perselisihan dalam permasalahan ini" (I'laamul Muwaqqi'iin 3/558-559)
Ibnu Taimiyyah berkata,
قال الإمام أحمد: "من ادعى الإجماع فهو كاذب. فإنما هذه دعوى بشر وابن علية يريدون أن يبطلوا السنن بذلك". يعني الإمام أحمد أن المتكلمين في الفقه من أهل الكلام إذا ناظرتهم بالسنن والآثار، قالوا: "هذا خلاف الإجماع"
"Imam Ahmad berakta, Barangsiapa yang menyerukan ijmak maka ia adalah pendusta, ini hanyalah merupakan metodenya Bisyr Al-Mirriisiy dan Ibnu 'Ulaiyyah, mereka ingin membatalkan sunnah dengan dakwah ijmak tersebut. Maksud Imam Ahmad adalah para pembicara dalam permasalahan fiqh dari kalangan ahli filsafat jika engkau mendebat mereka dengan dalil sunnah dan atsar maka mereka akan berkata, "Ini menyelisihi ijmak" (Al-Fataawa Al-Kubroo 3/370)
Oleh karenanya seseorang hendaknya berhati-hati dalam menukil permasalahan ijmak. Bahkan jika ia menemukan ada seorang yang alim mendakwahkan ijmak maka hendaknya ia tetap berusaha mengecek akan kebenaran ijmak tersebut, kecuali jika yang menyerukan ijmak adalah banyak dari kalangan para ulama, dan mereka menyerukan ijmak dengan lafal yang shorih (lafal yang tegas).
Karena sebagian ulama tasaahul (mudah) dalam mengutarakan ijmak sebagaimana diingatkan oleh para ulama.

Apakah benar merupakan ijmak para ulama bahwa hukum sutroh bagi orang yang sholat adalah sunnah dan tidak wajib?
Sebagian orang memandang bahwa permasalahan sunnahnya sutroh merupkan permasalahan yang telah ijmak dikalangan para ulama. Mereka berdalil dengan penukilan ijmak dari dua ulama besar
Yang pertama : Perkataan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, dimana ia berkata :
وَاتَّفَقَ العُلَمَاءُ بِأَجْمَعِهِمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ السُّتْرَةِ بَيْنَ الْمُصَلِّي وَالْقِبْلَةِ إِذَا صَلَّى مُنْفَرِدًا كَانَ أَوْ إِمَامًا
"Dan para ulama –seluruhnya- telah berijmak akan istihbabnya (sunnahnya) sutroh untuk diletakan antara orang yang sholat dengan kiblat, baik jika sedang sholat sendirian atau tatkala menjadi imam" (Bidaayatul Mujtahid 1/82).
Demikian juga Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni berkata,
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)

Komentar terhadap Ijmak Ibnu Rusyd rahimahullah :
Adapun Ibnu Rusyd maka beliau –rahimahullah- dikenal termasuk para ulama yang tasaahul (mudah) dalam mendakwahkan ijmak. Diantara para ulama yang mudah mengutarakan ijmak adalah :
-         Ibnu Jarir At-Tobari  (lihat penjelasan as-Syinqiithy dalam Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 274)
-         Ibnu Abdil Barr, beliau sering mengutarakan ijmak namun ternyata banyak yang tidak benar, bahkan khilaf yang terjadi sangat masyhuur (lihat kitab Ijmaa'aat Ibni Abdil Barr fil 'Ibaadaat, karya Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi). Padalah Ibnu Abdil Barr sangat dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Mudahnya beliau menukilkan ijmak karena beliau menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang tidak merusak ijmak.
-         Ibnu Rusyd (Al-Jad) sebagaimana hal ini diingatkan oleh para ulama Maliikyah
-         Ibnu Rusyd Al-Hafiid (lihat risaalah 'ilmiyaah Magister dengan judul Ijmaa'aat Ibni Rusyd Al-Hafiid qismil 'Ibaadaat min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid, karya Ibnu Faaizah Az-Zubair), dan diantara kesimpulan yang diambil oleh penulis bahwasanya penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak merusak ijmak (lihat hal 108)
Para ulama memandang ketiga ulama ini (yaitu Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Rusyd) sebagai orang-orang yang tasahul (mudah) dalam menukil ijmak karena ketiga ulama ini memiliki madzhab yang sama dalam masalah ijmak. Yaitu mereka menganggap bahwa penyelisihan satu atau dua orang 'alim tidak mempengaruhi terjadinya ijmaak. Dan madzhab ini adalah madzhab sebagian ulama Malikiah. Adapun madzhab jumhur ulama maka ijmak yang seperti ini bukanlah ijma'.
Dari sini kita pahami bahwa ijmak yang diserukan oleh Ibnu Rusyd tidak bisa dijadikan hujjah karena madzhab beliau tentang masalah ijmak bukan madzhab jumhur ulama.

Komentar terhadap ijmak Ibnu Qudaamah rahimahullah
Komentar mengenai pernyataan Ibnu Qudamah dari beberapa sisi :
Pertama : Lafal yang digunakan oleh Ibnu Qudamah dalam masalah sutroh adalah lafal yang menunjukan nafyul khilaaf.Beliau berkata
وَلاَ نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلاَفًا
"Dan kami tidak tahu ada khilaf (diantara ulama) tentang istihbabnya sutroh" (Al-Mughni 2/36)
Para ulama telah menjelaskan bahwasanya lafal seperti ini merupakan lafal yang tidak shorih (tidak jelas dan tidak tegas) dalam penyebutan ijmak. Lafal seperti ini masih lebih lemah dari pada lafal أَجْمَعُوا (para ulama telah berijmak) dan juga lebih lemah dari perkataan اتَّفَقُوْا (para ulama telah bersepakat). Bahkan sebagian ulama seperti As-Soyrofi dan Ibnu hazm tidak menganggap lafal seperti ini merupakan ijmak.
Kedua : Perkataan Ibnu Qudamah mengandung dua kemungkinan:
-         Kemungkinan pertama maksud beliau –rahimahullah- adalah kesepakatan para ulama bahwa hukumnya sunnah (tidak wajib)
-         Kemungkinan kedua adalah maksud beliau –rahimahullah- adalah para ulama telah sepakat akan disyari'atkannya perkara tersebut, terlepas apakah perkara tersebut hukumnya wajib atau sunnah
Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan kemungkinan ke dua :
Contoh pertama :
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ولو استأذن البكر البالغة والدها كان حسنا )
لا نعلم خلافا في استحباب استئذانها فإن النبي صلى الله عليه وسلم قد أمر به ونهى عن النكاح بدونه وَأَقَلُّ أحوال ذلك الاستحباب ولأن فيه تطييب قلبها وخُرُوْجًا مِنَ الْخِلاَفِ
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : "Kalau seandainya sang ayah meminta izin putrinya yang telah baligh (untuk dinikahi oleh pelamar -pent) maka hal itu lebih baik"
(Berkata Ibnu Qudamah) : Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya meminta idzin kepada putri yang telah baligh, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamtelah memerintahkannya dan melarang pernikahan tanpa izin sang putri baligh. Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab dan pada hal itu menyenangkan hati sang putri dan agar keluar dari khilaf" (Al-Mughni 7/33)
Perhatikan : perkataan Ibnu Qudaamah "Dan paling ringan hukumnya adalah istihbab" memberi isyarat akan adanya hukum yang lebih tinggi dari istihbab yaitu wajib. Dan perkataan beliau "agar keluar dari khilaf" menunjukan ada khilaf di kalangan para ulama tentang permasalahan ini.
Dan kenyataannya memang permasalahan ini bukanlah permasalahan yang disepakati oleh para ulama bahkan mashyur adanya khilaf diantara para ulama, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa meminta idzin kepada putri yang telah baligh (dewasa) untuk menikahkannya adalah wajib hukumnya. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merupakan salah satu ulama madzhab Hanabilah sebagaiman Ibnu Qudaamah.
Ibnu Taimiyyah berkata :
الْمَرْأَةُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ بِغَيْرِ إذْنِهَا بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ، بَلْ وَكَذَلِكَ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي أَحَدِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ، بَلْ فِي أَصَحِّهِمَا، وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَأَحْمَدَ فِي أَحَدِ الرِّوَايَتَيْنِ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
Wanita yang baligh (dewasa) maka selain ayahnya dan selain kakeknya tidak boleh menikahkannya tanpa idzin sang wanita, hal ini dengan kesepakatan para imam. Bahkan demikian juga sang ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan idzin sang wanita menurut salah satu dari dua pendapat para ulama, bahkan ini menurut pendapat yang terbenar diantara kedua pendapat, dan ini merupakan madzhab Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : Tidaklah dinikahkan wanita perawan sampai dimintai idzin…"(Al-Fataawaa Al-Kubroo 3/82)
Contoh kedua :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
مسألة قال ( ويقول عند الذبح بسم الله والله أكبر وإن نسي فلا يضره )   ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا ذبح قال بسم الله والله وأكبر وفي حديث أنس وسمى وكبر
وكذلك كان يقول ابن عمر وبه يقول أصحاب الرأي ولا نعلم في استحباب هذا خلافا
Permasalahan : Berkata (Al-Khiroqi) : (Dan dia tatakala menyembelih mengucapkan Bismillah wallahu Akbar, dan jika dia lupa maka tidak mengapa).
(Ibnu Qudamah berkata) : Telah sah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika menyembelih maka beliau berkata : Bismillah wallahu Akbar. Pada hadits Anas (bin Malik) : Nabi menyebut nama Allah dan bertakbir.
Demikian juga Ibnu Umar ia mengucapkan demikian, dan ini merupakan pendapat Ashaab Ar-Ro'y, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini..." (Al-Mughni  9/361)
Tentunya tidak diragukan lagi bahwa menyebut nama Allah tatkala menyembelih hukumnya adalah wajib dan bukan mustahab menurut jumhur ulama (diantaranya madzhab Hanabilah). Ibnu Taimiyyah berkata
وَالتَّسْمِيَةُ عَلَى الذَّبِيحَةِ مَشْرُوعَةٌ، لَكِنْ قِيلَ: هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ وَقِيلَ: وَاجِبَةٌ مَعَ الْعَمْدِ، وَتَسْقُطُ مَعَ السَّهْوِ، كَقَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ
"Dan menyebut nama Allah tatkala menyembelih disyari'atkan, akan tetapi dikatakan hukumnya adalah mustahab sebagaimana perkataan As-Syafi'i, dan dikatakn (juga) hukumnya adalah wajib jika ingat dan jika lupa maka tidak wajib sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad" (Al-Fataawaa Al-Kubroo 5/69)

Contoh ketiga :
Ibnu Qudaamah berkata dalam Al-Mughni
ولا يجب أن يحضر الإمام ولا الشهود وبهذا قال الشافعي وابن المنذر وقال أبو حنيفة إن ثبت الحد ببينة فعليها الحضور والبداءة بالرجم وإن ثبت باعتراف وجب على الإمام الحضور والبداءة بالرجم ...ولأنه إذا لم تحضر البينة ولا الإمام كان ذلك شبهة والحد يسقط بالشبهات
قال أحمد سنة الاعتراف أن يرجم الإمام ثم الناس، ولا نعلم خلافا في استحباب ذلك
"Dan tidak wajib bagi imam maupun para saksi untuk menghadiri (hukum had) dan ini merupakan pendapat As-Syafi'i dan Ibnul Mundzir. Abu hanifah berkata, "Jika hukum had ditegakkan karena ada bukti (para saksi) maka wajib bagi para saksi untuk hadir dan mereka yang wajib memulai pelemparan rajam, dan jika hukum had tegak karena pengakuan maka wajib bagi imam untuk hadir dan dialah yang memulai pelemparan rajam… karena jika para saksi tidak hadir demikian juga imam tidak hadir maka hal ini merupakan syubhat dan hukum had menjadi gugur dengan adanya syubhat…
Imam Ahmad berkata : "Sunnahnya pengakuan adalah imam yang merajam kemudian diikuti oleh orang-orang". Dan kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang istihbabnya hal ini" (Al-Mughni 9/47)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Ibnu Qudamah menyampaikan bahwasanya beliau tidak tahu adanya khilaf tentang istihbabnya hadirnya imam jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Padahal sebelumnya Ibnu Qudamah telah menukil pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya beliau mewajibkan imam untuk hadir (dan bukan sunnah) jika hukum had tegak karena adanya pengakuan. Dengan demikian maka maksud dari perkataan Ibnu Qudaamah "istihbaab" adalah "disyari'atkannya".
Dari tiga contoh diatas sangatlah jelas bahwasanyan perkataan Ibnu Qudaamah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf akan istihbabnya hal ini" maksudnya adalah "Kami tidak mengetahui adanya khilaf tentang disyari'atkannya hal ini", bisa jadi hukumnya mustahab dan bisa jadi wajib sebagaimana pada tiga contoh diatas. Jika ternyada ada ihtimal (kemungkinan) yang kedua ini maka gugurlah pemahaman bahwa Ibnu Qudaamah mendakwahkan ijmak ulama bahwa sutroh hukmnya mustahab dan tidak wajib. Wallahu A'lam bis Showaab.
Ketiga : Buku-buku yang khusus mengumpulkan ijmak-ijmak para ulama seperti kitab Al-Ijmaa' karya Ibnul Mundziir dan juga Marootib Al-Ijmaa' karya Ibnu Hazm tidak menyebutkan adanya ijmak akan mustahabnya sutroh dan tidak wajib. Demikian halnya mayoritas ulama mu'aashirin (zaman sekarang) seperti Syaikh Al-'Utsaimiin, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-Fauzaan, Al-Lajnah Ad-Daaimah tidak menukil ijmak tentang permasalahan ini. Hal ini menunjukan bahwa ijmak dalam masalah ini tidak valid dan tidak sah, paling banter ijmaknya tidak qoth'i tapi hanyalah dzhonniy
Berkata Muhammad Al-Amiin As-Syinqiithi,
واعلم أن بعض الأصوليين يقولون بتقديم الاجماع على النص ، لأن النص يحتمل النسخ والاجماع لا يحتمله ، ...ومرادهم بالاجماع الذي يقدم على النص خصوص الاجماع القطعي دون الاجماع الظني ، وضابط الاجماع القطعي هو الاجماع القولي ، لا السكوتي
"Ketahuilah bahwasanya sebagian ahli ushul berpendapat didahulukannya ijmak di atas nash karena nash ada kemungkinan telah mansuukh adapun ijmak tidak mungkin mansuukh…dan maksud mereka dengan ijmak yang didahulukan di atas nash adalah khusus ijmak qoth'iy bukan ijmak yang dzonniy. Dan definisi ijmak qoth'iy adalah ijmak qouliy (berupa pernyataan/perkataan-pent) dan bukan ijmak sukuutiy" (mudzakkiroh Ushuulil Fiqh hal 445)
Beliau juga berkata,
واعلم إن الإجماع الذي يذكر الأصوليون تقديمه على النص هو الاجماع القطعي خاصة وهو الاجماع القولي المشاهد أو المنقول بعدد التواتر ، أما غير القطعي من الاجماعات كالسكوتي والمنقول بالآحاد فلا يقدم على النص
"Ketahuilah bahwasanya ijmak yang disebutkan ohel para ahli ushuul didepankan dari pada nas adalah khusus ijmak qot'iy, yaitu ijmak qouliy yang dilihat atau dinukil dengan jumlah mutawatir, adapun ijmak-ijmak yang tidak qot'iy seperti ijmak sukuutiy atau ijmak yang dinukil dengan ahad maka tidak didahulukan di atas nash" (Mudzakkiroh Ushuul Fiqh hal 535)

Kesimpulan :
Permasalahan hukum sutroh bukanlah permasalahan yang ada ijmaknya, oleh karenanya ini merupakan permasalahn khilafiyah ijtihadiyah. Karenanya pentarjihan dalam masalah ini kembali pada pembahasan tentang permasalahan dalil. Maka pihak yang dalil dan hujjahnya lebih kuat maka itulah pendapat yang lebih rajih. Wallahu a'lamu bisshowaab.

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 07 Dzul Qo'dah 1431 H / 15 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Marooji'
1-    Marootibul Ijmaa' fil 'Ibaadaat wal Mu'aamalaat wal I'tiqoodaat, Ibnu Hazm, tahqiq : Hasan Ahmad isbir, Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama (1419 H-1998 M)
2-    Ijmaa'aat Ibni 'Abdil Barr fil 'Ibaadaat, Abdullah bin Mubaarok Al-Buushi, Daar At-Thoibah, cetakan pertama (1420 H-1999 M)
3-    Ijmaa'aat Ibni Rusyd (Al-Hafiid) –qismil 'Ibaadaat- min khilaal kitaabihi Bidaayatul Mujtahid wa Nhaayatul Muqtshid, Bin Faizah Az-Zubair, Isyroof DR Kamaal Buzaid
4-    Mudzakkiroh Ushuul Al-Fiqh, Muhammad Al-Amiin As-Syingqiithiy, tahqiq : Abu Hafsh Saamii Al-'Arobiy, Daar Al-Yaqiin, cetakan pertama (1419 H-1999 M)

Bolehkah Jilbab Berwarna Kuning Atau Yang Lainnya?

Pertanyaan :

Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :

1. Bolehkah wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?

2. Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?

Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron



Jawab :

Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas. Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.

Pertanyaannya :

Sebagian wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang warnanya berbeda dengan warna 'abaa'ah (jilbab bagian bawah-pent), terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari'atkan?, semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.

Jawaban beliau –hafidzohulloh- :

Segala puji bagi Allah Robbul 'aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.

Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :

Pertama : khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya, sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah berfirman :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya" (QS An-Nuur : 31)
...


Kedua : Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum wanita.

Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :

Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah –radhiallahu 'anhaa- ia berkata

:« لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأكْسِيَةِ »

Tatkala turun firman Allah (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada pakaian seperti burung-burung gagak" (HR Abu Dawud no 4101 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah hal 82)

Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.

Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata

« أُتي النبيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »

Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, "Menurut kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?". Orang-orang pada diam, lalu Nabi berkata, "Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !", maka didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan berkata, "Bajumu sudah usang, gantilah bajumu". Pada kain tersebut ada garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485, Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517)

Adapun warna hijau untuk pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa'ah menceraikan istrinya maka istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah radhiallahu 'anhaa berkata, وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها خُضرةً بجلدها.. "Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna kehijau-hijauan di kulitnya…." (HR Al-Bukhari no 5487)

Adapun pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhu, ia berkata :

رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang mu'ashfar. Maka Nabi berkata, "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?". Aku berkata, "Aku cuci kedua baju ini?", Nabi berkata, "Bahkan bakarlah kedua baju itu" (HR Muslim no 5436)

Dan yang dimaksud dengan dua buah baju mu'ashfar adalah dua baju yang dicelup dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang sabda Nabi "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?" : Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak mereka" (Syarh Shahih Muslim 14/55), beliau juga berkata : "Adapun perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita melepaskan onta tersebut…"
Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ، فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ لِلنِّسَاءِ »

“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 4066).
Adapun pakaian berwarna putih maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم

"Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih" (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah hal 82)

Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhumaa ia berkata
وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا

Adapun warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan pakaian dengan warna kuning" (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772, Ahmad no 5316). Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna kuning, bahkan sorban beliau juga" (HR Abu Dawud no 4064)
Hadits-hadits diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau, dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya, kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.

Dan perlu untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik perhatian) atau yang menyala (mengkilat) yang dipakai oleh para wanita pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa membangkitkan gejolak syahwat. Demikian juga halnya dengan warna-warna pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama'ah-jama'ah keagamaan, maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri jama'ah-jama'ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid'ah dalam agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada syirik mahabbah dan ta'dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang bukan pada tempatnya.

(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus Al-Jazaairi no 992)


Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?

Beliau –rahimahullah- menjawab :

"Seakan-akan penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh penduduk Arab Saudi-pent). Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai. Adapun jika pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang terlarang" (Fatwa Nuur "alaa Ad-Darb)

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 03 Dzul Qo'dah 1431 H / 11 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami!!


Pertanyaan:
Assalamu'alaykum Warohmatulloh Wabarokatuh

Ustadz firanda yang semoga ustadz dan keluarga mendapat penjagaan dari Allah, ana seorang akhwat yang saat ini sedang melakukan proses ta'aaruf dengan seorang ikhwan yang menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Pertanyaan ana, mungkin ustadz sudah bisa menebak dari judul/subject message ini, yaitu apa boleh menolak untuk dipoligami ? Apakah seorang wanita boleh memberi syarat kepada seorang lelaki yang hendak menikahinya agar tidak boleh berpoligami?

Ana selama mengaji hampir 2 tahun, mendapat salah satu kaidah yaitu : lebih diutamakan menolak mafsadah (kerusakan) daripada mendapat maslahat (manfaat)'. Ana, jujur merasa berat kalau nanti harus dipoligami ustadz. Tidak hanya masalah perasaan tapi juga dari pihak keluarga ana yang sangat memandang rendah terhadap laki-laki yang beristri lebih dari satu. Selain itu juga, ikhwan yang sedang berproses ta'aruf dengan ana juga belum punya pekerjaan alias hanya mengandalkan uang beasiswanya. Ana takut jika nanti ikhwan tersebut ada niatan untuk poligami dan nekat untuk menikah lagi padahal dari sisi dunia keluarga ana melihat belum mampu/miskin, keluarga besar ana akan melihat betapa jeleknya orang Islam yang hanya memikirkan syahwat dan syahwat tanpa memikirkan bagaimana menafkahi nanti. Ana bukanlah akhwat pondokan dengan background keluarga yang mengenal Islam dengan baik, saudara ana juga ada yang non-Islam. Ana dulu berkuliah dan mengaji di salafy sejak semester 6.

Mohon nasehat dari ustadz, wa Jazaakumullohu Khoyro.
Jawab :
Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari'atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?

Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari'at?

Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?

Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal :

Pertama : Syarat-syarat sah nikah

Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai.

Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma'ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa 'iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll)

Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.

Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam 'akad-'akad, baik 'akad (transaksi) jual beli maupun 'akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-'Qowaa'id An-Nuurooniyah.

Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki tidak berpoligami?

Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:


Madzhab Hanafi

Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang semisalnya menurut adat. (lihat Al-'Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176 maktabah syamilah)


Madzhab Malikiah

Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :

-         Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon suami.

-         Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai dengan sumpah dari sang calon suami

-         Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah 20 juta, lantas sang wanita berkata, "Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat sang lelaki tidak boleh berpoligami" lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)

-         Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, "Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku", kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : "Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya" (lhat Al-Mudawwanah 2/75)


Madzhab As-Syafii

Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan hukum syar'i tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak, atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya, atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan persayaratan.

Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:

-         Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.

-         Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan ayah atau  ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat istiadat).

-         Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh

-         Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi'i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-Haawi 9/506-508)


Madzhab Hanbali

Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut'ah (nikah kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, "Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju". (lihat Al-Mughni 7/449)

Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki  memandang makruhnya hal ini. Dan hukum makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan tersebut tetap tidak merusak akad nikah.


Dalil akan bolehnya persyaratan ini :

Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:

Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)

Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

"Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)

Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram" (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami. Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari'at.

Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan

Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ

"Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan"
 (HR Al-Bukhari no 2155 dan Muslim 1504)

Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah. Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut :

Aisyah berkata :

جَاءَتْنِي بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ وُقِيَّة فَأَعِيْنِيْنِي، فَقُلْتُ : إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ وَيَكُوْنُ وَلاَؤُكِ لِي فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى أَهْلِهَا فَقَالَتْ لَهُمْ فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِهِمْ وَرَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَقَالَتْ : إِنّي قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ الْوَلاَءُ لَهُمْ. فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خُذيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلاَءَ فَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

"Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, "Aku telah membeli diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, "Jika tuanmu suka maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala'mu pindah kepadaku". Maka pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan dan bersikeras bahwasanya walaa'nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, "Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali walaa'ku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar hal itu (secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi berkata, "Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri persyaratan kepada mereka tentang walaa'nya, karena walaa' adalah kepada orang yang membebaskan". Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, "Amma Ba'du, kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Qur'an), maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an maka merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa' hanyalah kepada orang yang membebaskan" (HR Al-Bukhari no 2168)

Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-Qur'an. Karena permasalahan "Walaa' itu hanya kepada orang yang membebaskan" sama sekali tidak termaktub dalam Al-Qur'an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari'atkan dan tidak diperbolehkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.

Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak.(lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah hal 285)

Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A'lam- adalah pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-Syarh Al-Mumti' 12/164, 167)


Kesimpulan :


Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:

-                     Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.

-                     Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan mahr al-mitsl

-                     Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh

-                     Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.


Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini (agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan :

-         Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam kesulitan.

-         Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.

-         Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari'at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari'atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.

-         Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.

-         Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.

Madinah, 16 05 1432 H / 20 04 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com