Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 7)

[dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA"

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda]

Naik Saudi Airlines

Tidak berapa lama kemudian, mulailah para penumpang menaiki pesawat maskapai penerbangan Saudi Airlines. Aku ingatkan beliau bahwasanya beliau akan duduk bagian depan pesawat karena beliau di kelas eksekutif, adapun aku duduknya di belakang, karena berada di kelas ekonomi.

Setelah kami di atas pesawat kebetulan aku duduk disamping kiri dua orang TKW yang pulang dari Arab Saudi ke Indonesia. Jadi posisiku no 3 dari jendela pesawat. Namun alhamdulillah setelah pesawat berangkat ada 4 kursi kosong di sebelah kiriku, akhirnya akupun pindah kursi duduk, dan 4 kursi yang kosong itu bisa dijadikan tempat tidur, lumayaan…, karena aku termasuk orang yang sulit untuk tidur di pesawat apalagi dalam kondisi duduk.

Pesawat lepas landas sekitar pukul 7.30 malam. Tatkala jam 11 malam kondisiku antara tidur dan tidak. Karena memang kebiasaanku sulit untuk tidur di atas pesawat. Namun akhirnya akupun tertidur. Tiba-tiba sekitar pukul 12 malam ada yang membangunkan aku, kubuka kedua mataku, ternyata syaikh yang telah membangunkan aku. Beliau berkata, "Firanda, kapan adzan subuh?". Pertanyaan ini wajar mengingat waktu Jakarta lebih maju 4 jam dari waktu Arab Saudi. Aku katakan, "Kira-kira 3 jam lagi ya syaikh". Beliau berkata, "Hati-hati, jangan sampai kita terlambat sholat, kalau sudah tiba waktu sholat kamu ke bagian depan pesawat beritahu aku".

Setelah itu aku semakin gelisah, padahal ngantuk yang sangat berat sedang menyerang mataku. Tatkala tiba jam tiga mulailah pandanganku aku konsentrasikan ke arah luar jendela pesawat, siapa tahu terlihat cahaya putih tanda telah terbit fajar shodiq. Akan tetapi karena kondisiku yang agak jauh dari jendela membuat aku selalu ragu. Aku tidak bisa melihat dekat ke jendela, karena dihalangi oleh dua kursi yang ditempati oleh dua orang TKW. Namun dari jauh nampak langit masih kelihatan gelap. Akhirnya tatkala pukul 3.45 subuh tampak cahaya di langit, akupun segera menuju ke bagian depan pesawat untuk memberitahu syaikh, ternyata aku mendapati beliau sudah selesai sholat subuh. Rupanya sudah masuk waktu sholat subuh sejak jam 3 tadi, hanya saja aku yang tidak bisa melihat langit dengan jelas. Akhirnya syaikh menyuruhku untuk segera berwudhu, kemudian menyuruhku untuk sholat sunnah fajar. Setelah itu akupun sholat subuh berjama'ah bersama salah seorang penumpang yang lain.

Lihatlah bagaimana perhatian syaikh untuk bisa sholat subuh tepat pada waktunya dan di awal waktu, meskipun beliau sedang berada di atas pesawat. Setelah sholat akupun kembali ke kursiku di bagian belakang pesawat



Pesawat mendarat di tanah air tercinta

Beberapa jam kemudian akhirnya pesawatpun mendarat di bumi tercinta Indonesia di Bandara Sukarno Hatta, Cengkareng, Jakarta, yaitu pada hari selasa, tepatnya sekitar pukul 12 siang WIB.

Ketika turun dari pesawat aku melihat syaikh disapa oleh salah seorang penumpang pesawat yang juga bersafar dari Arab Saudi. Orangnya agak tua dan naik kursi roda. Hatiku bertanya-tanya siapa gerangan orang ini, sepertinya kenal baik sama syaikh. Syaikh menjelaskan kepadaku, orang tersebut rupanya adalah orang kaya dan memiliki banyak kantor untuk mendatangkan tenaga kerja dari Indonesia ke Arab Saudi. Dan syaikh banyak ngobrol bersama dia, bahkan syaikh sempat menghadiahkan beberapa tulisan syaikh kepada orang tersebut tatkala di pesawat, diantaranya kitab beliau yang berjudul "Kunci-kunci kebaikan", dan juga transkrip ceramah beliau yang berjudul "Sebab-sebab kebahagiaan". Kata syaikh, "Yaa semoga bermanfaat bagi orang ini". Hatiku bergumam, "Subhaanallah, syaikh... syaikh…, sempat-sempatnya berdakwah di pesawat!!?"

Rencananya kami akan langsung melanjutkan safar menuju ke pulau Lombok pada pukul 5 sore, akan tetapi nampak keletihan pada wajah beliau. Akhirnya kru radiorodja menawarkan kepada beliau untuk beristirahat semalam di Jakarta untuk perawatan medis tradisional. Tadinya beliau masih nekat untuk tetap hari itu juga berangkat ke Lombok. Namun memang kondisi beliau yang agak payah, karena memang beliau baru saja bersafar ke Kuwait untuk mengisi pengajian dan beliau tiba di kota Madinah 2 hari sebelum keberangkatan ke Jakarta, terlebih lagi batuk yang beliau derita sudah hampir sebulan belum juga hilang. Akhirnya beliaupun memilih untuk beristirahat di Jakarta.

Kamipun beranjak dari bandara menuju hotel milik salah seorang ikhwah. Beliaupun beristirahat di hotel tersebut. Tatkala tiba di hotel kamipun makan siang ditemani oleh si pemilik hotel yang juga sering mendengarkan ceramah syaikh di radiorodja. Syaikh menyuruh agar pemilik hotel tersebut duduk di hadapan beliau, adapun aku duduk disamping pemilik hotel tersebut untuk menterjemahkan pembicaraan antara syaikh dengan pemilik hotel itu.

Pandanga syaikh tertuju pada beberapa jenis makanan yang aneh –yang tentunya tidak ada di Arab Saudi- maka beliau sempat bertanya kepadaku apa sih makanan tersebut?. Sayapun menjelaskan setiap makanan yang ditanyakan oleh beliau. Hingga akhirnya beliau menunjuk pada sebuah makanan yang kecil-kecil yang berwarna coklat yang terletak di atas sebuah piring kecil, maka aku katakan itu adalah kue. Beliaupun mencoba kue tersebut, ternyata makanan itu bukan kue akan tetapi ayam goreng yang dipotong kecil-kecil. Maka beliaupun berkata kepada para hadirin sambil bercanda, "Firanda ini kalau nerjemahin pengajian bener, akan tetapi kalau nerjemahkan makanan salah nerjemah". Para hadirin yang ikut makan bersama kamipun tertawa.

Tatkala kami sedang makan syaikh juga mengambil makanan lalu beliau sodorkan ke salah seorang penyiar di radiorojda seraya berkatat, "Si fulan ini harus makan lebih banyak karena badannya kurus". Para hadirin kembali tertawa karena memang si penyiar radiorodja tersebut bertubuh kurus. Demikianlah syaikh terkadang bercanda untuk menyenangkan hati orang-orang yang di sekitar beliau.

Usai makan siang syaikhpun diantar oleh pemilik hotel ke kamar yang telah di sediakan untuk beliau. Tatkala sampai di hotel beliaupun memberi hadiah kepada pemiliki hotel tersebut sabuah buku karya beliau yang berjudul "Kunci-kunci kebaikan", dan tidak lupa beliau menulis di depan buku tersebut, "Hadiah untuk ustadz fulan dari Abdurrozzaq Al-Badr". Subhaanallah syaikh Abdurrozaq menulis demikian untuk menyenangkan hati pemilik hotel tersebut. Beliau menuliskan namanya kemudian menyebut orang tersebut dengan didahului panggilan ustadz…, semuanya demi menyenangkan hati orang tersebut. Padahal aku tidak pernah melihat beliau melakukan tersebut kepada para penuntut ilmu. Jika beliau memberi hadiah buku kepada mereka maka tanpa menulis sesuatupun di buku tersebut. Penulisan tersebut kelihatannya sepele dan tidak membutuhkan tenaga dan waktu, tidak sampai satu menit, akan tetapi batapa besar rasa gembira yang terkesan di hati pemilik hotel tersebut.



Pijit refleksi?!!

Akhirnya syaihkpun beristirahat sebentar, dan selepas sholat isya maka datanglah seorang pakar herbal yang siap untuk mengobati dan memijit syaikh. Malam itu syaikh dipijit refleksi oleh orang tersebut. Kira-kira selama 1 jam setengah orang tersebut memijit syaikh, terkadang memijit bagian tubuh syaikh yang menimbulkan rasa kesakitan. Aku mengetahui dari mimik wajah syaikh yang menunjukan rasa kesakitan yang amat sangat, akan tetapi beliau bersabar. Aku bertanya kepada beliau, "Sakit ya syaikh?", beliau menjawab, "Iya, akan tetapi aku sabar insyaa Allah". Tidak sekalipun ada suara yang timbul dari beliau yang menandakan rasa sakit. Beliaupun diharuskan untuk meminum jamu yang telah diolah oleh orang tersebut, dan rasanya tentu tidak enak, akan tetapi tetap diminum oleh beliau.

Rupanya syaikh cocok dengan tukang pijit tersebut, maka syaikh berkata kepadaku, "Apakah bisa akh fulan (si ahli herbal) ini ikut safar bersama kita ke Lombok?, kalau tidak memberatkan panitia?". Alhamdulillah panitia menyanggupi hal tersebut.

Keesokan harinya, kamipun berangkat menuju bandara untuk berangkat menuju pulau Lombok. Kami tiba di Bandara Jakarta lebih awal. Tatkala tiba di bandara, beliau minta untuk diantar di musholla, aku bersama ahli herbal tersebut menemani syaikh ke musholla. Sesampainya kami di musholla syaikh ke kamar kecil. Kamipun menunggu sambil ngobrol. Si ahli herbal sempat bertanya kepadaku beberapa pertanyaan. Diantaranya ia bertanya, "Apakah ustadz Firanda mengenal banyak syaikh, kalau iya siapa saja?". Aku tatkala itu dengan spontan menjawab, "Aku kenal banyak syaikh, akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang mengenalku. Bahkan syaikh Ibrohim Ar-Ruhaili yang pernah mengajarku selama setahun kalau ketemu aku dia pasti ingat bahwa aku pernah menjadi murid beliau, akan tetapi beliau tidak tahu namaku, karena memang beliau tidak mengenalku. Apalagi syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili lebih-lebih lagi tidak mengenalku sama sekali. Yang dekat dengan syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili adalah Ustadz Abdullah Zain dan Ustad Anas Burhanuddin, dan yang dekat dengan syaikh Sulaiman adalah Ustadz Muhammad Arifin. Adapun yang aku kenal hanyalah syaikh Abdurrozzaq, itupun karena beliau pernah mengajarku selama dua tahun, dan sekarang menjadi dosen pembimbingku dalam menulis tesis selama tiga tahun. Kalau tidak tentunya beliau tidak akan mengenalku".

Ahli herbal ini agak sedikit terperanjat tatkala mendengar tuturanku ini. Kemudian dia berkomentar, "Ustad Firanda kok jawabannya lain, ada sebagian ustadz kalau ditanya ngaku-ngaku dekat dengan para masyaayikh". Akupun terdiam…"

Ketahuilah para pembaca yang budiman, bukanlah aku menceritakan hal ini untuk menunjukan bahwa aku seorang yang tawadhu –tidak demi Allah-, akan tetapi memang kenyataannya demikian, tidak seorang syaikhpun yang mengenalku.

Bahkan betapa sering aku malu kalau ditanya oleh mahasiswa yang lain, "Siapakah dosen pembimbingmu dalam menulis tesis", maka aku katakan, "Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr". Kebanyakan mahasiswa yang mendengar jawaban ini spontan berkomentar, "Ni'mal musyrif", yang artinya "Sebaik-baik dosen pembimbing adalah syaikh Abdurrozzaq". Dan aku jika mendengar komentar ini selalu juga aku langsung menimpali dengan perkataanku, "Wa bi'sat tholib", yang artinya, "Dan seburuk-buruknya murid yang dia bimbing adalah aku". Komentar ini selalu aku lontarkan karena memang aku tidak merasa pantas dikatakan sebagai murid beliau. Sampai akhirnya ada seorang ustadz di Jedah yang menegurku, dengan perkataannya, "Ya Firanda, janganlah engkau berkata demikian, ana kawatir perkataanmu itu didoakan malaikat", setelah itu aku tidak pernah berkomentar demikian.

Bahkan tatkala ada seorang teman mahasiswa yang berkata, "Kalau mau menghubungi syaikh Abdurrozzaq hubungi saja Firanda karena dia dekat dengan syaikh", maka akupun agak mangkel mendengar hal itu. Sesungguhnya rasa malu itu timbul tatkala orang-orang pada tahu bahwa aku adalah murid beliau, karena yang ada dibenakku seharusnya seorang murid bisa mencerminkan akhlak dan juga ilmu sang guru. Inilah yang menurutku sangat berat.

Oleh karena itu aku tahu benar bahwa teman-teman mahasiswa di Madinah yang berada di jenjang S2 dan S3 yang bertahun-tahun belajar di majelis Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, -ada yang lima tahun, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun- tidak seorangpun dari mereka tatkala pulang ke Indonesia lantas membuat iklan pengajian "Hadirilah kajian yang akan disampaikan oleh ustadz Fulan murid syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad". Karena itu aku tidak pernah mendapatkan di Arab Saudi satu pengumuman pengajianpun yang menyebutkan "Hadirilah pengajian syaikh fulan nuridnya syaih Utsaimin….", "….fulan muridnya syaikh Bin Baaz.."

Akan tetapi aku memaklumi memang sebagian kita ada yang mencantumkan dalam pengunguman bahwasanya ia adalah murid syaikh fulan dan tujuannya tidak lain adalah demi kemaslahatan masyarakat, karena terkadang masyarakat mungkin tidak tahu bahwasanya ia adalah orang yang telah banyak menuntut ilmu. Atau agar orang-orang awam yang melihat pengunguman tersebut tertarik untuk menghadiri pengajiannya



Tidak lama kemudian syaikh keluar dari kamar kecil hendak berwudhu, tatkala itu beliau memakai sepatu, maka tatkala hendak ke tempat wudhu beliau berhenti sebentar, lantas bertanya kepada kami berdua yang sedang duduk ngobrol, "Firanda, apa tidak masalah aku ke tempat wudhu dengan mengenakan sepatu?", dengan spontan aku menjawab, "Tidak jadi masalah syaikh, silahkan". Rupanya bagi syaikh itu sebuah masalah, lalu beliau berkata, "Tolong tanyakan ke petugas kebersihan". Akupun bertanya atau bahasa yang lebih tepatnya "meminta idzin" kepada petugas kebersihan tersebut, maka dengan serta merta ia mempersilahkan syaikh untuk tetap menggunakan sepatu beliau. Lalu syaikhpun memasuki mushola dan sholat sunnah, sementara aku dan ahli herbal tersebut tetap ngobrol menunggu tibanya jadwal keberangkatan pesawat. Ahli herbal tersebut agak terkagum dengan sikap syaikh tersebut seraya berkata, "Subhaanallah begitu saja kok syaikh minta idzin segala, kalau kita mungkin langsung nylonong aja makai sepatu ke tempat wudhu…!!??".

Akhirnya kamipun naik ke pesawat, dan Alhamdulillah panitia menyediakan tiket kelas eksekutif, akhirnya aku dan syaikh duduk di bagian paling depan pesawat Garuda.

Setelah pesawat lepas landas, syaikh sempat cerita sebentar kepadaku. Beliau berkata, "Waktu aku balik dari Kuwait menuju Riyadh ternyata pilot pesawat salah seorang saudara dari seorang ikhwah di Kuwait yang ikut menghadiri pengajianku. Lantas sang pilot memberi salam kepadaku dan mempersilahkan aku untuk duduk bersama beliau di kop pilot. Lantas dia menceritakan kepadaku cara mengemudi pesawat. Sungguh menajkubkan tatkala kita duduk di depan, kita melihat dunia yang begitu luas dan indah. Dan tatkala akan mendarat pilot tersebut mengatakan kepadaku, "Wahai syaikh sekarang kita akan mendarat, dan ada dua cara pendaratan, dengan cara otomatis atau cara manual kita yang menggerakan, antum pilih yang mana?". Aku berkata, "Aku pilih yang manual", akhirnya kamipun mendarat"

Demikianlah, terkadang syaikh bercerita kepadaku tentang kejadian-kejadian yang menakjubkan dan berkesan yang pernah dilewatinya.

Kemudian setelah bercerita beliau berkata, "Firanda aku ingin tidur", lantas beliaupun menjulurkan kaki beliau dan tidur. Beberapa kali pramugari mencoba membangunkan beliau dan menawarkan makanan atau minuman atau Koran dan majalah. Aku hanya mengatakan kepada pramugari tersebut, "Beliau hanya ingin tidur".

Di pulau Lombok yang indah

Akhirnya pesawatpun mendarat di pulau yang sangat indah pulau Lombok pada hari rabu sekitar pukul 1.30 siang hari waktu Lombok. Kamipun dijemput oleh beberapa ikhwan. Syaikh memang terkagum-kagum dengan keindahan pulau ini. Waktu sudah menunjukan sudah lewat waktu sholat dhuhur. Kamipun singgah di rumah salah seorang ikhwan di Lombok, dan ia menjamu kami dan juga ustadz-ustadz lokal yang ada di Lombok untuk makan bersama. Mereka sempat bertanya kepadaku, "Apa sih yang disukai syaikh?", maka akupun mengabarkan kepada mereka bahwa syaikh sangat suka sekali dengan buah durian. Akhirnya merekapun menghidangkan buah durian buat beliau. Ternyata syaikh telah mengenal buah durian ketika beliau bersafar ke Thailand.

Setelah makan siang kamipun duduk-duduk dan berbincang-bincang di serambi rumah ikhwan tersebut. Syaikh masih terus memperhatikan keindahan pulau Lombok, bahkan beliau kagum melihat pohon-pohon yang indah yang ada di rumah ikhwan tersebut. Sempat beliau bertanya, "Pohon-pohon ini apakah berbuah atau hanya sebagai hiasan saja?". Merekapun serta merta menjawab, "Hanya untuk hiasan". Mereka juga berkata, "Yaa Syaikh, sayang waktu terbatas, kalau tidak, kita ingin mengajak antum berjalan-jalan ke pantai pulau Lombok yang terkenal sangat indah. Syaikh berkata, "Tidak perlu, bertemu dengan para ikhwan di pulau Lombok sudah merupakan kebahagiaan tersendiri dan keindahan".

Setelah itu kamipun berangkat menuju hotel, namun Alhamdulillah masih ada waktu kira-kira satu jam untuk berjalan-jalan melihat keindahan pulau Lombok. Setelah itu kita langsung berangkat dari hotel menuju tempat pengajian yang jaraknya kira-kira 2 jam perjalanan dari hotel tersebut. Beliau tidak sempat istirahat di hotel. Di hotel hanya meletakkan barang kemudian kita langsung melanjutkan perjalanan. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 2 jam.

Di tengah perjalanan, salah seorang ustadz lokal di Lombok ingin membacakan matan al-Aqidah at-Thohawiyah. Syaikh mengizinkan hal itu. Maka selama di perjalanan ustadz tersebut membacakan matannya dan syaikh menyarah (menjelaskan) makna matan tersebut. Dan sang ustadz merekam penjelasan syaikh tersebut. Hingga akhirnya tatkala mau masuk waktu magrib dan syaikh masih terus melanjutkan penjelasannya di atas mobil akupun menegur ustadz tersebut dengan bahasa Indonesia, "Afwan ustadz, syaikh belum zikir petang, sekarang sudah mau masuk waktu maghrib, ana sarankan antum lanjutkan nanti saja setelah beliau mengisi pengajian". Maka ustadz tersebutpun berhenti dari membaca matan aqidah tersebut. Serta merta syaikh langsung berdzikir memanfaatkan waktu yang tersisa untuk dzikir petang hari. Beliau terus berdzikir hingga akhirnya kamipun masuk di areal mesjid tempat beliau akan mengisi pengajian.

Ribuan orang telah berkumpul menantikan keadatangan beliau, mulai dari anak-anak hingga orang-orang tua. Beliau kemudian mengeluarkan korma yang beliau bawa dari Madinah kemudian beliau bagi-bagikan kepada anak-anak kecil. Beliau menjabat tangan anak-anak tersebut, yang sangat kelihatan dari pakaian mereka bahwa mereka adalah anak-anak orang miskin. Bahkan ada seorang yang sudah sangat tua yang ingin berjabat tangan dengan beliau, maka bukan hanya tangan beliau yang beliau ulur untuk menyambut salaman orang tua tersebut bahkan beliau memeluk orang tua tersebut. Pemandangan yang sangat mengharukan hingga akupun tak bisa menahan air mataku melihat kelembutan syaikh terhadap anak-anak dan orangtua tersebut. Sungguh sikap tawadhu yang semestinya setiap kita mencontohinya.

Suatu adab yang tentunya setiap kita –apalagi kita orang Indonesia- mengetahuinya, yaitu yang muda harus menghormati yang tua. Bukankah Nabi pernah bersabda

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا

Bukan dari kami orang yang tidak menghormati orang tua dan tidak menyayangi anak kecil (HR Ahmad 11/529 no 6937 dengan sanad yang shahih)

Namun demikianlah terkadang syaitan memperdaya sebagian kita sehingga tatkala jika kita telah memiliki ilmu agama yang mumpuni sementara dihadapan kita ada orang tua atau yang lebih berumur dari kita namun tidak memiliki ilmu atau kurang ilmu agamanya akhirnya timbul perasaan meremehkan, atau kurang rasa hormat kita kepadanya. Seakan-akan yang harus dihormati hanyalah yang berilmu saja. Bukankah lebih tuanya umur seseorang juga merupakan sebab penghormatan sebagaimana hadits di atas?. Lihatlah bagaimana sikap syaikh yang beliau adalah seorang ulama bahkan telah mencapai gelar profesor sejak dulu, akan tetapi tetap beliau menunjukan rasa hormatnya kepada orang yang lebih tua. Bahkan orangtua yang dipeluk beliau sama sekali tidak dikenal oleh beliau, entah orang kaya atau orang miskin, entah berilmu atau tidak



Syaikhpun mengimami sholat magrib, dan ini diluar kebiasaan beliau, karena selama saya bersafar bersama beliau baru kali inilah beliau mau menjadi imam tatkala sholat di mesjid. Kali ke dua tatkala beliau khutbah jum'at di masjid Agung di Surabaya, maka tentunya beliaulah yang menjadi imam karena beliaulah yang berkhutbah. Adapun di masjid-masjid lain, baik di Surabaya maupun di Jakarta beliau selalu menolak tatkala diminta untuk menjadi imam. Ini merupakan sikap tawadhu beliau, karena setiap masjid tentunya ada imam rawatibnya, dan syaikh sama sekali tidak mau mengambil alih keimaman yang telah diemban oleh sang imam rawatib.

Selepas sholat magrib syaikhpun menyampaikan ceramah beliau, dan aku menerjemahkan ceramah beliau tersebut. Meskipun aku agak grogi dan sempat salah menerjemahkan karena terlalu banyak ayat yang disebutkan oleh syaikh.

Setelah menyampaikan materi pengajian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk beliau balik bertanya kepada para hadirin tentang materi yang telah disampaikan. Sebelum beliau bertanya beliau berkata, "Ada tiga peserta yang selama aku menyampaikan materi mereka selalu mencatat materi tersebut. Meskipun banyak yang mencatat tapi aku memilih tiga orang ini". Lalu syaikh menunjuk tiga orang tersebut, ternyata masih sangat kecil-kecil seumuran anak kelas 3 atau 4 SD. Lalu syaikh memberikan hadiah masing-masing anak 100 real. Kalau ukuran uang kita senilai sekitar 250 ribu rupiah. Setelah itu syaikh memberikan pertanyaan dan yang bisa menjawab diberi hadiah. Bahkan ada salah seorang hadirin yang diberi hadiah 200 real (500 ribu rupiah) karena jawabannya yang lengkap. Demikianlah beliau, begitu memperhatikan sunnah "memasukkan rasa gembira di hati sesama muslim".

Setelah pengajian berakhir kamipun makan malam di rumah salah seorang ikhwah dekat lokasi pengajian setelah itu kamipun kembali beranjak menuju hotel dengan menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Syaikh tiba di hotel sekitar pukul 11.30 malam, sudah agak larut malam. Adapun jadwal keberangkatan kami ke Surabaya adalah jam 7 pagi, sehingga syaikh harus dijemput dari hotel jam 6 pagi untuk menuju ke bandara. Sebelum syaikh masuk ke kamar hotelnya untuk beristirahat beliau sempat bertanya untuk menegaskan kapan beliau dijemput. Beliau berkata, "Besok aku dijemput jam berapa untuk berangkat ke bandara?". Maka panitiapun mengabarkan kepada beliau bahwa beliau akan dijemput pukul 6.

Tatkala tiba pagi hari sebagian ikhwah yang ditugaskan untuk menjemput beliau di hotel sudah berada di hotel, hanya saja mereka datang agak lebih pagi ke hotel yaitu sebelum pukul 6 pagi. Sesampainya mereka tiba di sana mereka pun mengetuk-ngetuk pintu kamar syaikh, akan tetapi mereka tidak mendapatkan jawaban dari dalam kamar syaikh. Akhirnya merekapun gelisah karena kawatir kalau syaikh ketiduran mengingat beliau semalam kurang istirahat. Mereka kembali mengetuk pintu tersebut akan tetapi hasilnya nihil, syaikh tetap saja tidak memberikan jawaban. Sementara waktu terus berjalan dan jadwal keberangkatan pesawat semakin mendekat. Para ikhwah yang hendak menjemput syaikh semakin gelisah dan bingung. Apa boleh buat akhirnya mereka terpaksa harus melaporkan hal ini kepada petugas hotel, agar petugas hotel membuka pintu kamar syaikh dengan menggunakan kunci hotel. Sebelum membuka pintu kamar petugas hotel kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar syaikh. Bahkan bukan cuma mengetuk, tapi bahasa yang lebih pas adalah menggedor-gedor pintu kamar syaikh. Tidak berapa lama kemudian –sebelum pintu kamar dibuka dengan paksa- yaitu pada saat jam menunjukan pukul 6 tepat ternyata syaikh muncul. Begitulah syaikh, sangat disiplin mengenai waktu, jika telah berjanji ketemu jam 6, maka beliau akan muncul jam 6 tepat. Namun anehnya arah kemunculan beliau dari arah luar hotel, bukan dari dalam kamar. Rupanya selepas sholat subuh beliau berjalan-jalan menyisiri pantai yang ada di sekitar hotel. Memang syaikh hobinya jalan kaki. Beliau pernah berkata kepadaku, "Al-harokah zainah" yang artinya, "Olah raga itu bagus".

Selama bersafar bersama beliau beberapa kali beliau senang untuk berjalan kaki. Seakan-akan beliau memiliki jadwal untuk berjalan kaki setiap hari. Pernah ketika kami di Lombok beliau sempat turun dari mobil lalu berjalan lebih dahulu sekitar 8 menit dihadapan kita. Beliau berkata, Aku jalan lebih dahulu di depan, nanti kaliah nyusul dengan mobil kalian". Hal serupa beliau lakukan tatkala aku dan beliau transit di bandara Singapura. Sebenarnya beliau diberikan kesempatan lebih dahulu untuk masuk pesawat mengingat beliau duduk di first class, bahkan petugas bandara datang untuk menawarkan beliau masuk terlebih dahulu melewati antrian penumpang yang panjang. Akan tetapi beliau menolak dan mengabarkan kepada petugas tersebut bahwa beliau akan masuk paling akhir setelah seluruh penumpang naik pesawat. Waktu untuk menunggu antrian beliau gunakan untuk sedikit membaca setelah itu beliaupun berjalan-jalan bolak-balik di ruang tunggu. Sekitar 15 menit beliau berjalan-jalan bolak-balik di ruang tunggu yang mungkin panjangnya sekitar 20 meter. Ternyata memang beliau memiliki jadwal khusus untuk jalan setiap harinya

Kamipun berangkat menuju Surabaya naik pesawat Batavia air. Tatkala pesawat lepas landas syaikh memandang ke arah luar, beliau melihat bukit-bukit yang berwarna hijau yang ada di pulau Lombok. Beliau berkata kepadaku, "Sungguh hijau dan indah gunung-gunung di sini". Akupun menimpali, "Syaikhonaa (guru kami), yang seperti itu kalau di Indonesia bukanlah gunung, akan tetapi namanya bukit. Karena gunung yang ada di Indonesia tingginya menjulang hingga menembus awan di langit. Bisa mencapai ketinggian 2 km, bahkan ada yang 5 km. berbeda dengan gunung-gunung yang ada di Arab Saudi semuanya memang pendek-pendek seperti ukuran bukit-bukit yang ada di Indonesia, tidak ada yang menjulang tinggi sampai ke awan". Beliapun bergumam, "Ooo begitu".

bersambung ...
Artikel: www.firanda.com

Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 6)

[dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA"

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda]

AKU PUN BER-SAFAR BERSAMA BELIAU


Safar adalah Penguak Tabir Akhlak

Safar merupakan penguak tabir hakikat yang sesungguhnya dari akhlak seseorang. Safar pun penuh dengan kesulitan. Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّفَرٌ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ

“Safar adalah sepotong adzab.” (HR Al-Bukhari no 1804)

Sebaik dan secanggih apa pun sarana dan prasarana yang disiapkan, tetap saja orang yang ber-safar akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, orang yang ber-safar akan menemukan kesulitan dan keletihan, bahkan terkadang marabahaya. Karena itu, harus ada sikap saling membantu di antara para musafir. Jika seorang musafir memiliki akhlak yang mulia maka akan tampak kemuliaan akhlaknya saat bantuan dan pertolongannya dibutuhkan orang lain. Sebaliknya, jika seseorang berakhlak buruk maka meskipun dia berusaha menyembunyikannya di hadapan orang lain dan berusaha bergaya seakan-akan dia berakhlak mulia, saat ber-safar maka akan terbongkar akhlak buruknya itu. Terlebih lagi jika safar menempuh jarak yang jauh dan waktu yang lama.

Pernah ada seseorang yang memberikan persaksian di hadapan Umar bin Al-Khathab, maka Umar pun berkata, “Aku tidak mengenalmu, dan tidak me-mudharat-kan engkau meskipun aku tidak mengenalmu. Datangkanlah orang yang mengenalmu.”

Maka ada seseorang dari para hadirin yang berkata, “Aku mengenalnya, wahai Amirul Mukminin.”

Umar berkata, “Dengan apa engkau mengenalnya?”

Orang itu berkata, “Dengan keshalihan dan keutamaannya.”

Umar berkata, “Apakah dia adalah tetangga dekatmu, yang engkau mengetahui kondisinya di malam hari dan di siang hari serta datang dan perginya?”

“Tidak.”

“Apakah dia pernah bermuamalah denganmu berkaitan dengan dirham dan dinar, yang keduanya merupakan indikasi sikap wara’ seseorang?” tanya Umar lagi.

“Tidak.”

Umar berkata lagi:

فَرَفِيْقُكَ فِي السَّفَرِ الَّذِي يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ؟

“Apakah dia pernah menemanimu dalam safar, yang safar merupakan indikasi mulianya akhlak seseorang?”

Orang itu berkata, “Tidak.”

Umar menimpali, “Jika demikian engkau tidak mengenalnya.”

(Atsar ini dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil 8/260 no 2637)

Sungguh benar perkataan Umar, safar memang merupakan pengungkap akhlak seseorang. Betapa banyak orang yang nampaknya mulia dan berakhlak baik namun tatkala kita ber-safar bersamanya dalam waktu yang lama dan jarak perjalanan yang jauh, tatkala kita berhadapan dengan kesulitan dan butuh akan pengorbanan, maka nampak akhlaknya yang asli, akhlak yang buruk?

Sungguh kesempatan emas bagi saya untuk bisa ber-safar bersama Syaikh Abdurrozzaq di mana saya bisa menimba ilmu dari beliau, sekaligus mengetahui tabir akhlak beliau yang sesungguhnya. Dan, akhirnya saat itu pun tibalah, Senin 25 Muharam 1431 H/11 Januari 2010.



Memulai Safar

Sebelumnya, seperti biasa, Ahad sore beliau masih menyampaikan kajian di Radiorodja. Setelah menutup kajian, saya menyampaikan kepada kru Radiorodja bahwa esok hari tidak ada kajian, karena kami akan bersiap safar, mengingat jadwal keberangkatan pesawat jam 07.15 PM, langsung setelah shalat Maghrib, sementara pengajian biasanya baru berakhir jam 6 sore. Tentunya aku menyampaikan hal ini kepada kru Radiorodja tanpa seizin Syaikh.

Setelah saya menyampaikan kepada beliau hal tersebut dengan alasan persiapan safar, beliau pun berkata, “Tidak, besok tetap ada pengajian. Insya Allah waktunya cukup, dan ada orang lain yang akan mengurus permasalan boarding, jadi kita hanya tinggal berangkat.”

Keesokan harinya, saya ke rumah beliau dengan membawa barang-barang bawaan safar. Selepas shalat Asar, beliau meminta tolong salah seorang saudara beliau untuk membawa seluruh barang-barang tersebut sekalian mengurus permasalahan boarding, sementara kami tetap mengadakan pengajian. Barulah selepas itu kami beranjak menuju bandara.

Kami sampai di bandara sesudah adzan Maghrib. Syaikh bertanya, “Bukankah penerbangan international lokasinya di sana?”

“Sudah pindah ke lokasi yang lain, Syaikh,” jawab saya.

Maka, kami pun turun di lokasi yang lain untuk masuk ke ruang tunggu. Saat kami mau masuk, kami diberitahu petugas bandara bahwa itu adalah ruang tunggu penerbangan domestic. Adapun lokasi ruang tunggu penerbangan international justru benar yang ditunjukan oleh syaikh. Ada perasaan tidak enak dalam hati saya, namun Syaikh sama sekali tidak marah, apalagi menunjukkan kekesalan atas kesalahan saya tersebut.

Dari ruang tunggu penerbangan domestic menuju ruang tunggu penerbangan international, kami berjalan kaki cukup jauh. Padahal, tas koper yang dibawa Syaikh cukup berat, namun beliau tetap membawanya tanpa ada keluhan sama sekali. Setiba di ruang tunggu beliau melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Selepas shalat, saya mendekati beliau dan bertanya, “Syaikh, apa kita tidak menjamak shalat Maghrib dan Isya saja?”

“Tidak,” jawab beliau. “Shalat isya kita kerjakan di pesawat saja.”

Setelah itu, beliau pun shalat sunnah ba’da Maghrib dua rakaat.

Saat kami di ruang tunggu, saya bertanya, “Perlukah saya ceritakan mengenai dakwah di Indonesia, agar Syaikh punya gambaran tentang kondisi dakwah dan perpecahan yang ada di sana?”

“Aku rasa tidak perlu,” jawab beliau, “karena aku ke Indonesia bukan untuk memihak salah satu dari golongan yang ada. Aku ke Indonesia untuk silaturahmi dan mengunjungi Radiorodja. Apakah engkau suka, ya Firanda, ada seorang syaikh yang datang ke saudara-saudaramu yang berselisih denganmu lantas mereka menceritakan keburukan-keburukanmu kepada syaikh tersebut? Tentunya engkau tidak suka. Demikian juga, sebaiknya engkau tidak perlu menceritakan kondisi saudara-saudaramu yang berselisih denganmu. Toh, mereka tidak berselisih denganmu pada permasalahan akidah. Engkau dan mereka saling bersaudara di atas akidah yang satu.”

Saya pun terdiam. Perkataan Syaikh ini sungguh cerminan akhlak yang mulai. Sering saya mendengar beliau berkata, “Banyak pendapat dalam menjelaskan definisi akhlak mulia. Namun definisi terbaik dari akhlak mulia adalah sebagaimana perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه

“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.” (H.R. Muslim no 1844)

Praktik dari hadits ini, jika engkau ingin bermuamalah dengan kedua orang tuamu maka bayangkanlah bahwa engkau adalah orang tua. Anggaplah engkau adalah seorang ibu. Apa yang kau kehendaki dari anakmu untuk bermuamalah kepadamu, maka seperti itulah yang kaulakukan terhadap ibumu. Analogikanlah hal ini tatkala engkau ingin bermuamalah dengan tetangga dan sahabatmu. Jika ada sahabatmu yang bersalah kepadamu maka apa sikapmu kepadanya? Bayangkan seandainya engkau adalah sahabatmu yang bersalah itu, maka apakah yang kauharapkan? Tentunya engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika demikian maka maafkanlah sahabatmu itu.”

Mengenai jawaban Syaikh atas pertanyaan saya tadi, saya sudah menduga sebelumnya. Hanya saja saya memberanikan diri bertanya demikian karena ada dorongan dari sebagian teman-teman senior agar Syaikh juga mengerti akan hal ini, sehingga bisa mengusahakan adanya persatuan.

Beberapa menit berikutnya, saya bertanya lagi, “Ya Syaikh, sebagian orang ada yang menyatakan bahwa aku adalah kadzab (pendusta). Apakah aku berhak membela diri dan membantah tuduhan tersebut?”

“Wahai Firanda, jangan kau bantah dia, bagaimanapun dia adalah saudaramu se-aqidah,” jawab beliau. “Bahkan jika ada orang yang bertanya kepadamu tentang dia, maka tunjukkan bahwa engkau tidak suka untuk membantahnya dan tidak suka membicarakan tentangnya.”

Beliau terdiam sejenak, lalu melanjutkan nasihatnya, “Engkau bersabar, dan jika engkau bersabar percayalah suatu saat dia akan melunak dan akan menjadi sahabatmu.”

Saya jadi teringat tatkala ada seorang mahasiswa program pasca sarjana meminta nasehat kepada beliau perihal kedustaan yang dituduhkan kepadanya. Mahasiwa tersebut berkata, "Ya syaikh, sesungguhnya saya telah dikatakan sebagai seorang pendusta, dajjaal, dan khobiits oleh seseorang yang bermasalah denganku. Padahal orang tersebut telah merendahkan engkau dan merendahkan syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, serta menyatakan bahwa syaikh Ibnu Jibrin adalah imam kesesatan, dan lain-lainnya. Saya sudah mengajak orang itu untuk berdialog perihal tuduhan yang ia lontarkan kepadaku dengan syarat pembicaraan kita harus direkam, akan tetapi orang itu menolak dan berkata bahwa jika aku datang menemuinya untuk mengakui kesalahanku maka dia akan menerimaku di rumahnya, namun jika aku mendatanginya untuk mendebatnya maka dia akan mengusirku dan akan memboikot aku serta tidak akan memberi salam kepadaku jika bertemu denganku. Bahkan orang ini mendoakan keburukan kepadaku dengan perkataannya,

"قَاتَلَه اللهُ، وَأَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الكَذَّابِ الأَشِر وَسَيَكُونُ مِنْ مَزْبَلَةِ التَّارِيخ"

(Semoga Allah memeranginya, aku berlindung kepada Allah dari si pendusta yang sombong, dan dia akan menjadi sampah sejarah).

Demikianlah yaa syaikh perkataannya yang buruk yang dia lontarkan untukku, dan aku mendengarnya sendiri dengan kedua telingaku. Yang jadi masalah juga dia menyebarkan tuduhan tersebut di kalangan para da'i di negaraku. Apakah aku berhak untuk membela diriku dan menjelaskan keadaan yang sesungguhnya?, mengingat terlalu banyak ikhwan yang bertanya melalui telepon atau surat perihal masalah ini?.

Syaikh serta merta berkata, "Sekali-kali jangan kau bantah dia, selamanya jangan kau bantah dia!!. Apakah engkau ingin engkau yang membela dirimu sendiri?, ataukah engkau ingin Allah yang akan membelamu??!!". Lalu syaikh menunjukan dua buah hadits yang terdapat dalam kitab Al-Adab Al-Mufrod karya Al-Imam Al-Bukhori yang menjelaskan agar seseorang sejauh mungkin menjauhkan dirinya dari perdebatan dengan saudaranya. Hadits yang pertama:

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَشْتُمُنِي وَهُوَ أَنْقَصُ مِنِّي نَسَبًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ وَيَتَكَاذَبَانِ

Dari 'Iyaadl bin Himaar bahwasanya ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, bagaiamana pendapatmu jika ada seseorang mencelaku padahal nasabnya lebih rendah daripada nasabku?, maka Nabi berkata , "Dua orang yang saling mencela adalah dua syaitan yang saling mengucapkan perkataan yang batil dan buruk dan saling berdusta" (HR Ahmad 29/37 no 17489 dan Al-Bukhari dalam al-adab al-mufrod no 427 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)

Syaikh berkata, "Hadits ini menunjukan bahwa dua orang yang bertikai dan saling mencaci maka disifati oleh Nabi dengan 2 syaitan. Bahkan Nabi berkata bahwa keduanya pendusta dan saling mengucapkan perkataan yang buruk, rendah dan batil. Orang yang membantah saudaranya pasti –mau tidak mau- akan terjerumus dalam kedustaan agar bisa membuat orang-orang benci terhadap musuhnya. Atau paling tidak dia tidak akan menjelaskan kejadian yang terjadi antara dia dan musuhnya sebagaimana mestinya, akan tetapi dia menyajikan kejadian itu seakan-akan dialah yang berada di pihak yang benar, dan dengan cara pengajian yang menjadikan para pendengar akan benci terhadap musuhnya.

Selain itu dia akan terjerumus dalam peraktaan-perkataan yang rendah dan kotor serta batil"

Adapun hadits yang kedua adalah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : اِسْتَبَّ رَجُلاَنِ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبَّ أَحَدُهُمَا وَالآخَرُ سَاكِتٌ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ، ثُمَّ رَدَّ الآخرُ فَنَهَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيْلَ : نَهَضْتَ؟ قال : نَهَضَتِ المَلاَئِكَةُ فَنَهَضْتُ مَعَهُمْ. إِنَّ هَذَا مَا كَانَ سَاكِتًا رَدَّتِ المَلاَئِكَةُ عَلَى الَّذِي سَبَّهُ فَلَمَّا رَدَّ نَهَضَتِ المَلاَئِكَةُ

Dari Ibnu 'Abaas berkata, "Ada dua orang yang saling mencaci di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka salah seorang diantara keduanya mencela yang lainnya, sementara yang kedua diam (tidak membalas cacian tersebut), dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk. Kemudian (akhirnya) yang keduapun membantah celaan tersebut, maka Nabipun berdiri beranjak pergi. Maka dikatakan kepada Nabi, "Kenapa engkau berdiri beranjak pergi?", Nabipun berkata, "Para malaikat beranjak pergi maka akupun bangkit untuk beranjak pergi bersama mereka. Sesungguhnya orang yang kedua ini tatkala diam dan tidak membantah celaan orang yang pertama maka para malaikat membantah celaan orang yang pertama yang mencacinya, dan tatkala orang yang ke dua membantah maka para malaikatpun beranjak pergi"

(HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod no 419, dan dinyatakan lemah oleh Syaikh Albani karena ada rowi yang bernama Abdullah bin Kaysaan, yang telah disifati oleh Ibnu Hajar dengan "صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا")

Syaikh berkata, "Jika engkau bersabar niscaya Allah yang akan membelamu, Allah berfirman

إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا

"Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman" (QS Al-Hajj : 38)

Jika engkau bersabar maka Allah pasti akan mengutus tentaranya untuk membelamu.

Perkaranya terserah engkau, apakah engkau yang akan membela dirimu sendiri, -yang artinya engkau menyerahkan urusanmu kepada makhluq yang sangat lemah yaitu engkau sendiri-, ataukah engkau menyerahkan urusanmu kepada Allah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu"

Syaikh melanjutkan perkataannya, "Sibukkan dirimu dengan berdakwah, dan jika ada yang bertanya kepadamu tentang permasalahan ini maka janganlah kau terpancing, tapi usahakan untuk mengingatkan si penanya agar sibuk dengan ilmu-ilmu yang bermanfa'at"

Beliau terdiam sejenak kemudian kembali berkata, "Kita sibuk dengan dakwah, urusan kita banyak, maka tidak perlu memikirkan hal-hal seperti itu. Akupun tidak senang kalau disampaikan kepadaku permasalahn-permasalahan seperti ini, karena aku ingin hatiku bersih. Dan jika aku bertemu dengan orang yang mejelek-jelekan aku maka aku tetap akan ramah terhadap dia, karena aku tidak mendengar pembicaraannya tentangku".

Sayapun jadi teringat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَا يُبَلِّغْنِي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِي شَيْئًا فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَخْرُجَ إِلَيْكُمْ وَأَنَا سَلِيمُ الصَّدْرِ

Janganlah seseorang menyampaikan kepadaku tentang seseorang yang lain dari para sahabatku, sesungguhnya aku suka untuk bertemu kalian dalam keadaan hatiku selamat (bersih)

(HR Ahmad no 3759 dan dihasankan oleh syaikh Ahmad Syakir, namun didho'ifkan oleh syaikh Al-Albani)

Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, "Hadits ini lemah, akan tetapi maknanya benar, karena jika seseorang disebutkan kejelekannya kepadamu maka akan ada sesuatu di hatimu terhadap orang tersebut, meskipun orang tersebut bermu'amalah dengan baik kepadamu. Akan tetapi jika engkau berinteraksi dengannya dan engkau tidak mengetahui keburukan-keburukan orang tersebut dan dan tidak ada bahayanya bermu'amalah dengan orang tersebut, maka ini merupakan perkara yang baik. Bahkan bisa jadi dia lebih menerima nasehat darimu. Hati-hati itu saling berjauhan sebelum berjauhnya tubuh. Ini adalah permasalahan yang pelik yang nampak jelas bagi orang yang berakal setelah perenungan" (Al-Qoul Al-Mufid 1/52-53)

Saya teringat saat musim fitnah tahdzir-mentahdzir di kota Madinah sekitar tahun 2002, sempat tersebar tuduhan bahwa Syaikh adalah mubtadi’. Tuduhan tersebut dilontarkan oleh sebagian syaikh yang lain yang juga berakidah yang lurus. Bahkan di antara tuduhan yang sangat buruk terhadap Syaikh, sebagaimana pernah saya baca langsung, Syaikh dikatakan terpengaruh paham sufiah, dan Syaikh sudah memengaruhi ayah beliau, Syaikh Abdul Muhsin….

Allahu akbar! Ini tentulah tuduhan yang sangat buruk. Mungkinkah Syaikh Abdurrozzaq, seorang professor di bidang akidah, terpengaruh paham sufi? Bahkan memasukkan paham tersebut ke ulama besar sekaliber Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad? Apakah karena perhatian beliau terhadap akhlak dan sikap beliau yang tidak suka membicarakan kejelekan dan kesalahan orang lain lantas beliau dikatakan sufi?

Namun, subhanallah, Syaikh sama sekali tidak menggubris tuduhan-tuduhan tersebut. Seakan-akan beliau tidak tahu sama sekali, seakan-akan tuduhan tersebut tidak ada sama sekali.

Demikianlah akhlak seorang 'alim sekelas beliau, adapun kita memang tidak sanggup untuk bersabar tatkala kita dituduh dengan tuduhan yang tidak benar. Terlebih-lebih lagi tatkala tuduhan tersebut menyangkut agama kita seperti "pendusta" dan sebagainya. Terlebih lagi jika kita dikatakan "dajjaal, khobiits". Sakit terasa hati ini, dan inginnya membalas terhadap orang yang menuduh kita tersebut. Didukung lagi jika datang syaitan kemudian mengompori kita untuk menggubris tuduhan tersebut dan untuk membantahnya. Syaitan akan berkata, "Jika engkau tidak membanah tuduhan tersebut, maka orang-orang akan mengira bahwa tuduhan tersebut benar adanya".

Namun sungguh benar, orang yang paling bahagia adalah orang yang paling ikhlas, yang hanya mencari penilaian dan komentar Allah -Yang Maha kuasa atas segala sesuatu- dan tidak memperdulikan komentar manusia jika Allah telah mengetahui bahwasanya ia berada di atas kebenaran. Allahul Musta'aan wa ilaihi tuklaan.

Di antara nasihat beliau yang berkaitan dengan masalah bantah membantah, adalah nasihat beliau tentang kenyataan yang terjadi di medan dakwah tatkala seseorang membantah yang lain akan tetapi tidak dengan adab yang benar. Beliau membacakan sebuah perkataan emas yang pernah dituliskan oleh ulama Al-Imam Ibnu Syaikh Al-Hazzamiyin (wafat 711 H) dalam kitab yang berjudul "رِحْلَةُ الإِمَامِ ابْنِ شَيْخِ الحَزَّامِيِيْنَ مِنَ تَصَوُّفِ الْمُنْحَرِفِ إِلَى تَصَوُّفِ أَهْلِ الْحَدِيْثِ والأَثَرِ"

Kitab tersebut menceritakan tentang perjalanan Al-Imam Ibnu Syaikh Al-Hazzamiyin dari pemahaman sufi yang menyimpang hingga mendapatkan hidayah dan mengenal pemahaman ahlus sunah.

Ibnu Syaikh Al-Hizamiyin berkata, “Ilmu ini (menjelaskan dan membantah kesesatan pihak yang lain-pen) hukumnya haram bagi orang yang berkeinginan untuk menjatuhkan harga diri manusia dalam rangka memuaskan kehendaknya yang rusak atau untuk mendukung hawa nafsu yang diikuti. Dan ilmu ini hukumnya mubah (boleh) bahkan mustahab bagi orang yang hendak menjaga dirinya agar tidak terpengaruh kesalahan-kesalahan dan terjerumus dalam ketergelinciran. Ilmu ini tidak boleh dan tidak mustahab bagi orang yang hanya ingin mencela dan mengejek-ngejek. Sehingga menjadikan pembicaran kesalahan orang lain sebagai bahan tertawaan dan candaan bukan sebagai sarana untuk mengenal kesalahan (agar tidak terjerumus) dan sebagai pelajaran. Akhirnya ia pun mengungkap tirai yang menutup kesalahan-kesalahan orang lain tanpa niat yang benar. Padahal setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan niatnya.” (Rihlatu Al-Imam… hal 16).

Syaikh mengomentari perkataan ini, “Betapa banyak di antara kita yang butuh akan nasihat yang sangat berharga ini.”

Sungguh benar komentar Syaikh. Kenyataan pahit yang ada di lapangan, tatkala sebagian kita mengkritik sebagian yang lain dengan kritikan yang benar namun cara kritik yang tidak benar, banyak di antara kita yang menjadikan majelis kritik sebagai majelis tawa dan humor, bahkan ejekan dan cercaan. Saudara sendiri dijadikan bahan lelucon. Apa yang harus kita lakukan terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه

“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.”

Apakah ada di antara kita yang suka menjadi bahan lelucon dan ejekan?

Bagaimana pula sikap kita dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya segala (kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri."

Bukankah lafazh (ما) dalam kalimat hadits ini: (مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) adalah isim maushul? Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan bahwa isim maushul memberikan makna yang umum (universal)?

Marilah kita renungkan penjelasan Syaikh Shalih Alu-Syaikh berikut ini:

“Hadits di atas mencakup akidah, perkataan dan perbuatan, yaitu mencakup seluruh bentuk amal shalih, baik keyakinan, perkataan, maupun perbuatan. Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki akidah yang benar seperti akidah yang ia yakini.

Sikap seperti ini hukumnya wajib. Hendaknya ia juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa, dan telah hilang darinya keimanan sempurna yang wajib.

Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di atas akidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunah, yaitu akidah bid’ah, maka telah ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib.

Demikian pula halnya dengan seluruh peribadatan dan seluruh jenis sikap menjauhi perkara yang diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktik suap, tetapi ia senang jika ada saudaranya yang terjatuh dalam praktik suap, hingga dia merasa unggul, lebih shalih dari saudaranya tersebut, maka telah ternafikan kesempurnaan iman yang wajib dari dirinya. Dia telah berdosa.” (dari ceramah beliau yang berjudul Huququl Ukhuwwah)

Demikian juga pada kondisi di mana kita terzhalimi, saat kita tertuduh dengan tuduhan-tuduhan kosong tanpa bukti, maka hendaknya kita tetap mempraktikkan hal ini. Lihatlah bagaimana sikap Syaikh, meskipun beliau sering ditahdzir bahkan dituduh mubtadi' akan tetapi beliau tidak pernah membalas. Bahkan, beliau tidak pernah menyebutkan kejelekan pihak yang mentahdzir. Beliau tidak suka jika ada yang memancing beliau untuk membantah tuduhan tersebut.

Ibnu Rajab berkata: “Hadits yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa wajib bagi seorang mukmin untuk bergembira jika ada saudaranya yang seiman gembira. Hendaknya ia menginginkan agar saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia juga menginginkan kebaikan. Semua ini tidak bisa terwujud kecuali dari hati yang bersih dari sifat dendam, hasad (dengki), dan curang. Sesungguhnya sifat hasad menjadikan pemiliknya benci jika ada orang lain yang mengungguli atau menyamainya dalam kebaikan. Sebab, ia ingin menjadi spesial dan istimewa di tengah-tengah manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Tetapi konsekuensi dari iman adalah sebaliknya, yaitu ia ingin agar seluruh kaum mukminin menyamainya dalam kebaikan yang Allah berikan kepadanya, tanpa mengurangi kebaikan dirinya sedikit pun" (Jaami' al-'Ulum wal Hikam I/306)

bersambung ...
Artikel: www.firanda.com

Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 5)

[dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA"

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda]

MENGUNDANG SYAIKH KE INDONESIA


Setelah mengisi ceramah secara rutin di Radiorodja, Syaikh Abdurrozaq dikenal secara luas oleh jamaah di Indonesia. Tak jarang yang merindukan perjumpaan dengan beliau. Begitupun saya, sudah lama memiliki keinginan untuk mengajak beliau mengunjungi Indonesia agar bisa memberikan ceramahnya secara langsung. Akan tetapi, lagi-lagi keraguan memenuhi hati saya menyaksikan kesibukan beliau dari hari ke hari.

Setelah cukup lama mempertimbangkan permintaan saudara-saudara saya di Indonesia, akhirnya saya menyampaikan juga keinginan tersebut kepada Syaikh. Apalagi setelah beberapa ikhwan mengonfirmasi kesiapan mereka untuk mengatur prosedur dan teknis kedatangan Syaikh di Indonesia.

Saat keinginan tersebut saya sampaikan kepada beliau, sempat terjadi tawar-menawar serta tarik ulur. Di antaranya, saya menawarkan kepada beliau untuk berkunjung ke Indonesia pada liburan musim panas, karena merupakan liburan panjang bagi Universitas Islam Madinah. Biasanya masa liburan mencapai tiga bulan. Akan tetapi, tawaran ini beliau tolak.

“Di liburan musim panas, saya mengisi kajian harian di Masjid Nabawi,” jawab beliau. “Terlebih lagi yang menghadiri kajian banyak orang-orang arab yang berdatangan dari luar Arab Saudi, seperti Aljazair, Libya, Sudan, Kuwait, Emirat Arab, dan lain-lain. Dan ini sangat menghemat waktu saya daripada saya harus ber-safar ke negara-negera mereka. Alhamdulillah, mereka yang mendatangi kota Madinah.”

Jawaban tersebut tentu saja membuat hati saya sedih. Namun, saya cukup mengerti atas alasan dan pertimbangan beliau.

“Syaikh, bagaimana kalau pada kesempatan lain, Syaikh ber-safar ke Indonesia dengan membawa keluarga? Insya Allah, teman-teman di Indonesia siap mengatur. Syaikh bisa sekalian berpesiar menikmati keindahan alam Indonesia yang subur dan hijau. Tentunya mereka akan senang,” lanjut saya menawarkan alternatif kedua.

“Ya, Firanda, aku tidak ingin keluargaku pergi ke luar Arab Saudi karena banyak fitnah yang akan mereka lihat,” jawab Syaikh. “Allah telah menjaga mereka. Lagipula, istri dan anak-anakku tidak memiliki paspor, dan mereka tidak perlu untuk bikin paspor. Karena kalau mengurus paspor, mereka harus difoto, dan aku tidak suka kalau keluargaku difoto kalau bukan pada perkara-perkara yang memang dibutuhkan. Berlibur tidak mesti ke Indonesia.”

Sedih juga hati saya mendengar jawaban ini. Namun, saya terus berusaha memberi penawaran berikutnya. Saya berkata, “Ya Syaikh, bagaimana kalau liburan semesteran? Waktu liburannya lebih singkat, dan safar hanya beberapa hari saja.”

Beliau menjawab, “Ya Firanda, waktu liburan semester adalah milik keluargaku. Mereka juga punya hak berpesiar dan tamasya. Aku tidak ingin melalaikan hak mereka ini.”

Saya pun terdiam, entah penawaran apa lagi yang bisa saya sampaikan. Namun, alhamdulillah pada hari-hari berikutnya, saya mendapat ide baru. Saya katakan pada Syaikh, “Wahai Syaikh, bagaimana kalau Syaikh ke Indonesia bukan pada waktu liburan, tapi waktu mengajar?”

“Aku tidak ingin meninggalkan tugas mengajarku,” jawab Syaikh, mematahkan harapan saya. Namun, tiba-tiba Syaikh berkata, “Bisa, jika aku mengatur murid-muridku agar jam mengajarku ditunda dan dirapel, namun kita hanya bisa ber-safar ke Indonesia selama lima hari. Kita berusaha menyenangkan hati para pendengar Radiorodja dengan menziarahi mereka di Indonesia.”

Subhanallah… betapa senang hati saya mendengarnya, dan betapa semakin terharunya saya mengingat alasan beliau bersedia memenuhi tawaran saya, adalah untuk menziarahi jamaahnya, menyenangkan hati saudara-saudara di Indonesia. Maka, saya pun segera menghubungi teman-teman di Jakarta untuk menyampaikan berita gembira ini dan agar mereka segera mempersiapkan segalanya.

Banyak pelajaran berharga yang bisa saya tarik dari peristiwa tersebut. Hal pertama adalah mengenai perhatian beliau terhadap dakwah. Termasuk perhatian beliau dalam menimbang kemaslahatan dakwah, sekaligus semangat beliau berdakwah dengan tetap memerhatikan hak-hak keluarga beliau. Ini merupakan pelajaran bagi para da’i yang terkadang melalaikan hak-hak istri dan anak-anak yang juga butuh rekreasi. Terkadang, seorang da’i karena terlalu semangat dalam berdakwah akhirnya melalaikan hak-hak istri dan anak-anak.

Kemudian, tidaklah mendorong beliau untuk mendatangi Indonesia kecuali dengan niat: “Kita berusaha menyenangkan hati para pendengar Radiorodja dengan menziarahi mereka di Indonesia.”

Begitulah, beliau selalu memerhatikan hal ini, dan berusaha mempraktikannya.

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُوْرٌ يدُخْلِهُ ُعَلَى مُسْلِمٍ أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً أَوْ يَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا أَوْ يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ( يعني مسجد المدينة) شَهْرًا وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ _ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ _ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيْهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى تَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُوْلُ الأَقْدَامُ وَإِنَّ سُوْءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلِ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ



Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah memberikan rasa gembira pada hati seorang muslim, atau mengangkat kesulitan yang dihadapinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh, aku berjalan bersama saudaraku untuk menunaikan kebutuhannya, lebih aku sukai daripada aku iktikaf selama sebulan penuh di masjid ini (Masjid Nabawi).
Barang siapa yang menahan rasa marahnya maka Allah akan menutup auratnya (keburukan-keburukannya) pada hari kiamat. Barang siapa yang menahan amarahnya –-yang jika dia kehendaki maka bisa dia luapkan-- maka Allah akan memenuhi hatinya dengan (selalu) mengharapkan hari kiamat. Barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk keperluannya hingga ia siap untuk menunaikan kebutuhannya maka Allah akan mengokohkan kakinya di hari di mana kaki-kaki akan tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang buruk merusak amal sebagaimana cuka merusak madu. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no: 906)



Menggembirakan Hati Sesama Muslim

Suatu ketika, saya hadir di majelis beliau di Masjid Nabawi. Saat itu, beliau menjelaskan kitab Asy-Syamaa’il Al-Muhammadiyah karangan Imam Tirmidzi. Sampailah beliau pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah di mana dia berkata:

أَتَانَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم فِي مَنْزِلِنَا فَذَبَحْنَا لَهُ شَاةً فَقَالَ “كَأَنَّهُْم عَلِمُوا أَنَّا نُحِبُّ اللَّحْمَ

Nabi shallallahu 'alihi wa sallam mendatangi kami di rumah kami, maka kami pun menyembelih seekor kambing untuk menjamu beliau. Maka beliau pun berkata, “Sepertinya mereka tahu bahwasanya kita suka daging (kambing).”



Syaikh Abdurrozzaq mengomentari hadits ini dengan berkata, “Lihatlah bagaimana Nabi menunjukkan rasa senangnya atas makanan yang dihidangkan oleh keluarga Jabir bin Abdillah, tidak lain kecuali untuk menyenangkan hati mereka. Oleh karena itu termasuk sunah jika kita dijamu orang kemudian kita suka dengan makanan yang dihidangkan maka hendaknya kita menunjukkan hal itu kepada orang tersebut agar menyenangkan hatinya. Hal ini berbeda dengan sebagian orang yang meskipun suka dengan makanan tapi menyembunyikan rasa sukanya.”

Saat kami mengisi pengajian di Radiorodja, namun Syaikh belum siap untuk mengisi, beliau berkata, “Sebentar saya mau menelepon.”

Beliau pun disibukkan dengan pembicaran melalui handphone. Saya menangkap sedikit-sedikit isi pembicaraan beliau. Setelah selesai, beliau menjelaskan bahwa barusan beliau berbicara dengan salah seorang donator. Rupanya, pada malam sebelumnya beliau mendapat kabar buruk tentang seseorang yang dipenjara karena terlilit hutang sejumlah 56 ribu real (sekitar 140 juta rupiah), dan orang tersebut sudah berumur 97 tahun. Selain sudah berusia sangat sepuh, ternyata orang tersebut juga seorang yang miskin. Maka tergeraklah hati Syaikh untuk meringankan beban orang tersebut, agar tidak menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Syaikh menghubungi donatur tersebut dan meminta kesediaannya untuk membantu orang tua ini. Dan, alhamdulillah sang donatur setuju untuk melunasi hutang orang tua tersebut.

“Ya, kita menyenangkan hati orang tua itu,” kata Syaikh.

Bayangkan jika kita berada di posisi orang tua itu, betapa rasa senang dan gembira yang akan kita rasakan?

Syaikh banyak menyampaikan cerita para ulama yang memotivasi murid-muridnya untuk mengamalkan hal ini. Di antara cerita-cerita tersebut:



Pertama: kisah tentang Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di.

Kisah ini beliau sampaikan saat saya duduk di semester kedua Fakultas Dakwah Jurusan Akidah, jenjang S2.

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di adalah guru dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahumallah. Syaikh banyak mengetahui cerita tentang Syaikh As-Sa’di karena tesis beliau tatkala di S2 berkenaan dengan karya-karya tulis Syaikh As-Sa’di. Selain itu, salah seorang putra Syaikh As-Sa’di adalah sahabat dekat beliau.

Suatu saat, istri Syaikh As-Sa’di pulang dari safar setelah beberapa lama berpisah dengan Syaikh As-Sa’di karena safar tersebut. Syaikh As-Sa’di terbiasa menggunakan jam beker untuk membantu beliau bangun shalat malam. Namun, malam hari di mana istri beliau pulang dari safar itu, rupanya ada seorang anak kecil di antara keluarga Syaikh yang memainkan jam beker tersebut. Walhasil, keesokan harinya saat shalat Shubuh, Syaikh As-Sa’di tidak nampak di masjid. Padahal beliau adalah imam masjid.

Siangnya, Syaikh As-Sa’di mengimami shalat Zhuhur. Selepas shalat, beliau memberi wejangan kepada para jamaah masjid. Setelah selesai, tiba-tiba ada seseorang hadirin yang bertanya, “Ya Syaikh, mengapa Syaikh tidak terlihat saat shalat Shubuh? Apakah karena istri Syaikh baru pulang dari safar?”

Mendengar celetukan orang tersebut, para hadirin tertawa. Kemudian, Syaikh pun tersenyum, lantas beliau memanggil orang tadi kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang, lantas diberikan kepada orang itu, seraya berakata, “Ini hadiah buat engkau karena hari ini engkau memasukkan rasa gembira dalam hati para jamaah.”

Mendengar perkataan Syaikh, para jamaah kembali tertawa.



Kedua: kisah Syaikh As-Sa’di berpura-pura baru mendengar sebuah berita.

Kisah ini berasal dari putra Syaikh Abdurrahman As-Sa’di yang diceritakan kepada beliau. Suatu saat, Syaikh As-Sa’di berjalan dengan salah seorang putranya. Mereka bertemu seseorang di tengah perjalanan tersebut, dan orang itu berkata, “Ya Syaikh, tahukah engkau bahwa telah terjadi begini dan begitu….”

Orang tersebut menceritakan peristiwa dengan sangat rinci dan penuh semangat. Padahal, Syaikh sudah tahu kejaidan tersebut. Namun, Syaikh bersikap seakan-akan beliau baru pertama kali mendengar kejadian tersebut, sehingga membuat orang itu semakin semangat bercerita. Dan tatkala Syaikh berkata, “Ooo begitu…,” maka orang tersebut semakin gembira.

Kemudian, Syaikh melanjutkan perjalanan kembali. Maka bertemulah Syaikh dengan orang kedua yang bercerita tentang kejadian yang sama. Namun, Syaikh tetap sabar mendengarkan, seakan-akan beliau baru pertama kali mendengar kisah tersebut. Demikian halnya ketika datang orang ketiga menceritakan kejadian yang sama, semuanya di dengarkan oleh Syaikh dengan penuh saksama. Padahal, putra Syaikh sendiri merasa tidak sabar dan ingin mengatakan kepada orang itu bahwa Syaikh sudah tahu kejadiannya.

Sikap beliau yang penuh tawadhuk ini tidak lain upaya menyenangkan hati orang yang bercerita, dan agar tidak menyedihkan hatinya. Subhanallah! Coba kalau kita yang berada pada posisi beliau. Mungkin, kita dengan mudah mengatakan, “Ooo… itu? Saya sudah tahu.” Atau, “Wah, kamu ketinggalan berita. Saya sudah tahu sebelumnya.” Atau, “Hmm, saya pikir kamu mau menyampaikan sesuatu yang penting. Ternyata berita ini? Kalau ini sih sudah basi.” Atau ungkapan-ungkapan lainnya yang mungkin akan membuat sedih orang yang hendak bercerita tersebut.

Lihatlah Syaikh As-Sa’di, ulama sekaliber beliau bersedia merendahkan diri untuk mendengarkan sebuah cerita yang sudah beliau ketahui.



Ketiga: Kisah tentang Syaikh As-Sa’di dengan Syaikh Al-Utsaimin.

Suatu saat, Syaikh Utsaimin datang mengunjungi kota Madinah. Salah seorang kaya mengundang beliau makan malam di rumahnya. Hadir bersama beliau dalam jamuan makan malam tersebut, empat orang, termasuk Syaikh Abdrurrozaq dan Syaikh Utsaimin. Saat memasuki ruang makan, pandangan Syaikh Utsaimin tertuju pada tumpukan buah-buahan beraneka ragam yang tertata rapi menyerupai gunung kecil. Syaikh lalu mengambil buah apel dari tumpukan tersebut, lantas berkata kepada kami, “Tahukah kalian, kapan pertama kali aku memakan buah apel?”

Kemudian, Syaikh Utsaimin pun bercerita, “Dahulu, Syaikh As-Sa’di mengajar buku yang agak berat, yaitu Qawa’id Ibni Rajab. Kitab ini agak sulit dipahami karena berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih. Pada awalnya, banyak murid beliau yang hadir, namun lama-kelamaan berkurang, hingga akhirnya saat beliau menamatkan kitab tersebut, hanya tinggal aku sendiri bersama beliau. Setelah itu, beliau merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir apel berwarna merah. Baru pertama kali aku melihat buah seperti itu. Beliau berkata, ‘Ini buah tuffahah (apel), yang dimakan bagian dalamnya. Ada bijinya di dalam. Jangan dimakan.’ Aku sangat gembira menerima hadiah tersebut, maka aku segera pulang dan mengumpulkan seluruh keluargaku, istri dan anak-anakku, lalu kutunjukkan kepada mereka buah tersebut. Karena mereka juga baru pertama kali melihat buah apel, maka ada yang berkata, ‘Apakah ini tomat?’ Akhirnya aku membelah-belah buah apel tersebut lantas kubagikan kepada keluargaku.”

Demikianlah, Syaikh Abdurrozak menceritakan kisah yang pernah didengarnya langsung dari Syaikh Utsaimin. Subhanallah, hanya sebutir apel akan tetapi sangat berkesan di hati Syaikh Utsaimin dan menyenangkan beliau bahkan keluarga beliau.

Syaikh Abdurrozaq pernah berkata, “Ya Firanda, meskipun sebuah hadiah nilainya tidak seberapa tetapi bisa jadi sangat menyenangkan hati orang yang diberi. Suatu saat, aku pernah bertemu seorang penuntut ilmu dari Kuwait, dan aku hampir lupa kalau aku pernah mengajarnya. Lantas, saat kami bertemu, dia segera memelukku kemudian mengingatkan aku bahwa dia pernah aku ajar di bangku kuliah. Bahkan dia berkata, ‘Ya Syaikh, aku tidak pernah lupa hadiah bunga yang Syaikh berikan kepadaku, sampai sekarang masih aku simpan di bukuku.”

Lihatlah setangkai bunga yang tidak bernilai tetapi sangat berkesan di hati orang tersebut.



Keempat: Syaikh Utsaimin dan tawaran basa-basi.

Sesungguhnya hampir seluruh rumah yang ada di Unaizah pernah diziarahi Syaikh Utsaimin untuk menyenangkan hati sang pemilik rumah.

Suatu saat, Syaikh keluar dari masjid selepas memberikan pengajian. Tiba-tiba seorang pekerja dari Mesir –yang sedang bekerja di luar mesjid- berbasa-basi kepada Syaikh sambil berkata, “Ya Syaikh, silakan minum kopi di rumahku.”

Orang Mesir ini tidak pernah menghadiri kajian Syaikh, dan dia berkata demikian hanyalah basa-basi kepada Syaikh. Namun tanpa dia duga, tiba-tiba Syaikh Utsaimin berkata, “Kapan? Aku bersedia minum kopi di rumahmu.”

Orang Mesir ini pun kaget dengan jawaban Syaikh. Maka, dia pun berkata, “Iya, Syaikh, lain hari.”

Akhirnya Syaikh pun mengunjungi rumah orang Mesir ini pada hari yang ditentukan, ternyata kunjungan Syaikh ini sangat menggembirakan orang Mesir ini dan akhirnya dia pun jadi rajin dan selalu menghadiri kajian-kajian syaikh.

Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 4)

[dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA"

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda]

DAKWAH TANPA MEMBEDAKAN GOLONGAN



Kok, Syaikh Bisa Mengisi Ceramah di Radiorodja?

Sebenarnya, sudah lama kru Radiorodja berkeingingan mengundang Syaikh Abdurrozaq untuk mengisi di Radiorodja. Pihak Radiorodja meminta saya menyampaikan hal tersebut kepada beliau. Namun, tiap kali saya berniat menyampaikannya, selalu saya urungkan saat melihat kesibukan Syaikh yang begitu banyak. Lagi pula tergambar di benak saya berbagai kesulitan teknis dalam melangsungkan penyiaran tersebut.

Menggunakan skype adalah salah satu teknis yang memungkinkan. Tetapi seperti kita ketahui, skype sering ngadat. Jika hal itu terjadi pada saat Syaikh memberikan ceramah, tentu akan merepotkan beliau. Namun, berhubung keinginan untuk menyiarkan ceramah Syaikh Abdurrozaq di Radiorodja begitu besar, saya pun nekat menyampaikannya kepada beliau.

“Syaikh, saya menyampaikan permintaan teman-teman di Radiorodja agar Syaikh mengisi kajian rutin, seminggu sekali.”

Dan, jawaban beliau sungguh-sungguh di luar dugaan saya. Syaikh berkata: “Saya siap mengisi kajian setiap hari.”

Saya takjub sekaligus bingung mendengar jawaban tersebut, karena justru sayalah yang tidak siap. Saya pun menawarkan kepada beliau untuk mengisi kajian sepekan dua kali, dengan mempertimbangkan kesiapan dari berbagai teknisnya. Alhamdulillah, Syaikh setuju dengan usulan tersebut.

Akhirnya, dimulailah kajian tersebut dengan menggunakan perangkat komputer desktop dilengkapi program skype. Dua buah kursi menghadap komputer dan sebuah mic eksternal. Syaikh mempersilakan saya duduk di kursi yang bagus dan empuk, sedangkan beliau memilih kursi yang jelek dan datar tanpa spon. Tentu saja saya menolak penawaran beliau, akan tetapi beliau bersikeras agar saya duduk di kursi yang bagus. Akhirnya saya pun menurut. [1]

Proses siaran berlangsung dengan peralatan yang sederhana. Selama kajian, kami ditemani ceret kecil berisi minuman; terkadang teh, jahe, atau minuman beraroma kayu manis. Di awal kajian, di mana saya sedang menyiapkan komputer dan membuka program skype, tanpa terlihat sungkan, Syaikh menuangkan minuman ke dalam cangkir dan menghidangkannya untuk kami. Demikian juga jika di tengah-tengah kajian, Syaikh melihat cangkir saya sudah kosong beliau tidak segan mengisinya lagi.

Ketika saya menerjemahkan materi ceramah, Syaikh benar-benar memerhatikan, siapa tahu ada yang terlewatkan. Jika saya salah dalam mengulangi ayat atau hadits yang beliau sampaikan, maka beliau langsung menegur dan mengoreksinya. Pernah sekali beliau membaca sebuah ayat dalam surat Al-An’am yang sangat panjang. Sebenarnya saya pernah menghafal ayat itu, tetapi saat itu saya lupa. Padahal Syaikh baru saja selesai menejelaskan kandungan makna ayat tersebut dan saya harus menerjemahkannya. Saya gugup dan keringat bercucuran di kening saya. Bagaimana saya menjelaskan isi ayat tersebut sementara saya tidak menghafalnya?

Alhamdulillah, Syaikh mengetahui masalah yang sedang saya hadapi. Ketika saya mulai menerjemahkan pembukaan ayat tersebut, maka tanpa saya minta, Syaikh menulis teks ayat di atas sebuah kertas, lalu menyodorkannya kepada saya. Legalah hati saya karena teks tersebut memudahkan proses penerjemahan.

Oleh karenanya melalui goresan tangan ini saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada para pendengar setia Radiorodja atas kesilapan saya selama ini dalam menerjemahkan nasehat-nasehat syaikh. Sebenarnya masih ada teman-teman yang lain di kota Madinah yang berhak dan pantas untuk menerjemahkan, dan saya sudah berusaha mengundurkan diri dari penerjemahan, hanya saja syaikh yang meminta saya untuk meneruskan penerjemahan.[2]

Seperti saya singgung sebelumnya, program skype sering ngadat. Saat itu terjadi, hati saya sesak. Bagaimana tidak? Saat Syaikh sedang menyampaikan kajian, tiba-tiba sambungan terputus. Tidak jarang, skype ngadat sampai berkali-kali sehingga syaikh harus mengulang-ngulang kembali kajiannya. Begitupun saya, harus mengulang-ulang terjemahannya. Dalam keadaan semacam ini, saya lagi-lagi dibuat kagum pada kesabaran Syaikh. Beliau tetap tenang dan tidak menampakkan kekesalan sama sekali. Tetap dengan semangat, beliau mengulang-ulang materi ceramah beliau. Sikap beliau inilah yang membuat saya lebih tenang. Syaikh saja tenang, kok malah saya yang susah dan gelisah?



Pribadi yang Disiplin

Karena kajian dimulai langsung setelah shalat Asar, saya harus shalat Asar di masjid Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad. Setelah shalat Asar, kami langsung menuju rumah beliau yang jaraknya sekitar 100 meter dari masjid, untuk segera mengisi kajian. Sering ada jamaah yang memiliki keperluan dengan beliau dan ingin bertemu selepas shalat Asar, tetapi beliau hanya menjawab salam dan meminta udzur sembari berkata, “Maaf para ikhwah sekalian, sekarang saya harus mengajar,” lalu beliau beranjak.

Demikianlah Syaikh Abdurrozzaq apabila telah melazimi sebuah pengajian maka beliau akan disiplin. Jika beliau telah menetapkan pengajian mulai selepas shalat Asar maka tetap harus jalan, bahkan terkadang ada orang penting yang ingin bertemu dengan beliau, bahkan kerabat beliau, maka beliau tunda pertemuan dengan mereka setelah mengisi pengajian di Radiorodja.

Di kalangan mahasiswa, Syaikh Abdurrozzaq dikenal sebagai orang yang sangat disiplin dan tepat waktu. Para mahasiswa yang dibimbing oleh beliau dalam menulis tesis, tentulah tidak merasa asing akan kedisiplinan beliau. Saya pun termasuk yang berada dalam bimbingan beliau. Untuk itu, banyak para senior dan kakak angkatan saya yang mengingatkan akan hal tersebut. Bahkan, ada yang mengingatkan, “Hati-hati Firanda, jangan sampai terlambat waktu isyraf (waktu bimbingan, seminggu sekali), meskipun hanya satu menit. Karena kebiasaan Syaikh, kalau ada muridnya yang terlambat meskipun hanya lima menit maka akan ditegur dengan keras.”

Tentu saja, saat pertama kali mendapat peringatan semacam ini dari kakak angkatan, saya kaget. Namun, di sisi lain, saya pun bersyukur, berpikir positif bahwa dengan begitu maka saya akan semakin termotivasi untuk menyerahkan tesis pada waktunya. Lagipula, kalau dipikirkan lagi, sikap tegas dan disiplin Syaikh ini bukan untuk kemaslahatan beliau akan tetapi demi kemaslahatan para mahasiswa itu sendiri.

Begitulah, selama beliau mengajar satu semester, yakni semester pertama kuliah Hadits, aku menyaksikan sendiri bagaimana beliau selalu tepat waktu, baik saat masuk kelas maupun saat keluar kelas. Pernah terjadi, syaikh lain yang mengajar sebelum beliau, memperpanjang waktu kuliah hingga beberapa menit masuk ke dalam jam kuliah beliau. Maka, beliau mengetuk pintu kelas sambil memberi salam kepada syaikh tersebut, lantas beliau menasihati sang Syaikh dengan perkataan, “Maaf, Syaikh, waktu istirahat buat mahasiswa jangan diambil.”

Dalam pergantian mata kuliah, memang ada jeda sekitar 5 – 10 menit yang biasa digunakan oleh mahasiswa untuk istirahat. Maka Syaikh tersebut pun berkata, “Na’am, na’am…!” dengan wajah tersipu-sipu dan penuh rasa malu.

Lihatlah, dalam masalah seperti ini beliau tidak basa-basi, dan tetap menegur syaikh lain yang tidak disiplin dalam jam mengajar. Rupanya, teguran beliau tidak terlupakan oleh sang Syaikh, sehingga pada kesempatan mengajar berikutnya, sang Syaikh sudah bersiap-siap agar tidak kebablasan lagi, sampai-sampai berkata, “Wahai para mahasiswa, jika sudah hampir habis waktu tolong ingatkan saya, agar kita tidak ditegur lagi oleh Syaikh Abdurrozzaq.”

Demikianlah Syaikh Abdurrozzaq, disiplin dalam mengajar sebagai dosen di universitas dan demikian juga disiplin dalam mengisi pengajian. Maka, tentulah demikian saat beliau mengisi pengajian di Radiorodja. Saya ingat betul bagaimana beliau selalu berusaha tidak absen dalam jadwal pengajian.

Saat pengajian telah berlangsung tiga atau empat kali, beliau teringat akan salah satu janji beliau sebelumnya untuk menemani Ibunda beliau melakukan umrah. Jadwal keberangkatan ke Mekah dari Madinah rupanya bertabrakan dengan jadwal pengajian di Radiorodja. Maka beliau sempat bingung dan bimbang.

Saya sampaikan kepada beliau, “Tidak apa-apa, Syaikh. Pekan ini kita liburkan dulu, atau kita ganti jadwal di hari lain.”

Maka beliau berkata, “Tidak bisa begitu, Firanda, aku tidak ingin mengubah jadwal. Kasihan kalau ada pendengar yang menunggu. Semoga saja jadwal keberangkatan ke Mekah bisa diubah waktunya. Aku akan kabari engkau nanti sore atau besok.”

Akhirnya, Alhamdulillah, jadwal keberangkatan beliau ke Mekah bisa diubah, dan pengajian berjalan sebagaimana biasanya.

Pernah suatu saat beliau harus bersafar ke kota Riyadh (ibu kota Arab Saudi) untuk mengisi pengajian, dan ternyata jadwal penerbangan ke Riyadh hanya ada dua pilihan, jam 6 sore atau jam 12 malam, sedangakan perjalanan dari Madinah ke riyadh membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Artinya jika syaikh memilih keberangkatan jam 6 sore maka pengajian di Radiorodja harus diliburkan karena tidak akan keburu, namun jika syaikh memilih keberangkatan pukul 12 malam maka beliau akan tiba di bandara Riyadh sekitar pukul 2 dini hari. Namun subhaanallah beliau tetap memilih harus bersafar di tengah malam agar kajian di Radiordja tidak diliburkan.

Bahkan pernah suatu hari, pas di pagi hari istri beliau melahirkan, dan masih harus rawat nginap di rumah sakit bersalin, namun sorenya syaikh masih menyempatkan waktu untuk mengisi pengajian di Radiorodja. Subhaanallah sungguh luar biasa semangat dan kedisiplinan beliau.

Pada kesempatan yang lain, Syaikh mempunyai rencana liburan bersama keluarganya ke luar kota, Thaif, selama sekitar satu minggu. Beliau menelepon saya dan bertanya, “Kajian minggu depan, bagaimana pelaksanaannya?”

Seperti biasa, dengan mudahnya saya menjawab, “Tidak apa-apa, Syaikh. Kajian minggu depan kita liburkan saja dulu.”

“Tidak bisa,” jawab Syaikh. “Ya Firanda, usahakan agar pengajian tidak libur. Coba pikirkan bagaimana jalan keluarnya.”

Sejenak aku memikirkan teknis yang memungkinkan untuk melaksanakan converence. “Ada beberapa yang bisa dilakukan, Syaikh. Pertama, dengan menggunakan sistem converence. Syaikh menyampaikan pengajian dari Thaif, adapun saya menerjemahkan dari Madinah. Atau ada pilihan kedua, saya ikut ke Thaif, dan kita mengisi pengajian bersama seperti biasa.”

Lalu syaikh berkata, “Yang kedua lebih baik. Kalau begitu, engkau ajak keluarga dan anak-anakmu ke Thaif, nanti saya yang atur masalah penginapannya.”

Akhirnya, dengan senang hati saya berangkat ke Thaif bersama keluarga. Apalagi selama ini saya belum pernah ke Thaif, kota yang subur dan indah. Sesampainya di sana, bukan hanya uang penginapan yang diberikan oleh Syaikh, bahkan uang jajan pun kami dapatkan dari beliau. Beliau pun mengajak kami mengunjungi tempat-tempat rekreasi di Thaif, atau minimal beliau menunjukkan jalan untuk bisa sampai ke tempat-tempat tersebut. Beberapa kali beliau menelepon saya, memastikan apakah saya udah sampai di tempat-tempat rekreasi tersebut atau belum.

Beliau juga menunjukkan lokasi restoran Indonesia. Dan kebetulan saat kami di Thaif, salah satu materi pengajian beliau menyinggung tentang wajibnya menaati tata tertib lalu lintas. Setelah dua hari di Thaif, saya pun kembali ke Madinah, sementara beliau masih tetap melanjutkan liburan di Thaif. Setelah sampai di Madinah ternyata Syaikh kembali menelepon dan bertanya kapan sampai di Madinah. Maka saya kabarkan kepada beliau bahwa waktu pulang dari Thaif ke Madinah membutuhkan waktu perjalanan sekitar delapan jam.

“Kok, terlambat?” tanya Syaikh. Sebab, waktu saya berangkat dari Madinah ke Thaif, waktu tempuhnya hanya lima jam dengan kecepatan 160 km/jam.

“Karena saya mengikuti nasihat Syaikh,” kata saya. “Bukankah di Thaif, Syaikh menyampaikan tentang menaati tata tertib lalu lintas? Karena itu, waktu pulang ke Madinah saya menyetir mobil hanya dengan kecepatan 120 km/jam.” [3]

Beliau pun tertawa mendengar penjelasan tersebut.

Kedisiplinan beliau ini tentunya merupakan pelajaran berharga bagi kita para da’i maupun para penuntut ilmu. Betapa seringnya kita terlambat hadir dalam pengajian, dan betapa seringnya para da’i terlambat datang di tempat pengajian, sehingga akhirnya para hadirin juga sudah mengetahui bahwa jam kita jam karet. Secara tidak langsung kitalah para da’i yang mengajari para hadirin untuk jam karet.

Yang lebih menyedihkan lagi, betapa sering para da’i bolong-bolong dalam mengisi pengajian rutin, yang akhirnya membuat para hadirin berkurang sedikit demi sedikit. Bahkan bisa jadi pengajian bisa buyar sama sekali. Oleh karena itu hendaknya kita memberikan contoh kedisiplinan kepada para mad’u.

Perhatikan juga semangat beliau yang bersedia mengisi pengajian di Radiorodja setiap hari, padahal waktu beliau yang sangat sibuk. Namun demikianlah, tidaklah kita menuntut ilmu kecuali untuk bisa berdakwah.

[1] Alhamdulillah sekarang telah tersedia dua kursi yang empuk, sehingga kami berdua sama-sama duduk di kursi yang empuk.

[2] Diantara koreksi yang sering disampaikan kepada saya perihal penerjemahan adalah tempo bicara saya yang begitu cepat. Saya sudah sering berusaha untuk merubah kekurangan saya ini, namun -qodarullah- hingga saat ini masih belum berubah. Bahkan pernah suatu saat saya mengisi pengajian di kota Pekalongan, ketika saya sedang menggebu-gebu menyampaikan kajian, tiba-tiba ada selembar kertas yang disampaikan ke meja podium. Saya pun segera membuka secarik kertas tersebut, ternyata isinya ,"Maaf ustadz, kecepatannya tolong 30 km/jam saja". Sayapun tersenyum menyadari kekurangan saya.

Kesulitan saya untuk merubah cepatnya ritme tempo bicara saya dikarenakan saya besar di kota Sorong Propinsi Irian Jaya. Sejak berumur sebulan saya bertempat tinggal Irian Jaya dan tidak pernah keluar dari Irian Jaya kecuali tatkala berumur 20 tahun. Hal ini sangat mempengaruhi pola ritme bicara saya. Karena penduduk Irian Jaya cepat dalam berbicara. Kami sering menyingkat pembicaraan kami karena saking sepatnya pembicaraan kami. Sebagai contoh, untuk mengatakan "Saya pergi main bola", maka kami ungkapkan dengan singkat, "Sapi main bola".

[3] Oooh iya, mungkin para pembaca agak kaget saya mengendarai mobil dengan kecepatan 160 km/jam. Memang kondisi kendaraan dan jalan raya di Arab Saudi berbeda dengan di Indonesia, rata-rata di Arab Saudi kendaraan ber cc tinggi, selain itu jalan antar kota yang sangat lebar dan cenderung sepi. Hal inilah yang memancing para pengendara mobil mengendarai mobil dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan pernah suatu kali saya naik mobil taksi dari kota Madinah menuju kota Jedah yang berjarak sekitar 400 km, maka sang supir mengendarai kendaraan dengan kecepata 220 km/jam. Tidak ada satu kendaraanpun didepannya kecuali dia melambunginya. Sungguh hal yang sangat mengerikan, sehingga jarak 400 km hanya ditempuh sekitar 2 jam saja. Selama perjalanan jika saya membuka mata maka sungguh mengerikan pemandangan yang ada di hadapan saya, terkadang jantung mau copot rasanya. Saya lebih suka memejamkan mata sambil mengulang-ngulang dzikir Laa Ilaaha illaallohu, siapa tahu terjadi apa-apa ??!!. Saya sendiri yang sudah mengendarai mobil dengan kecepatan 160 km/jam pun terkadang masih diklakson-klakson oleh mobi-mobil yang ada dibelakang yang tentunya melaju dengan kecepatan yang lebih cepat lagi.

Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 3)

(dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA"

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda)

Uang ini Bukan dari Saya, tetapi dari Orang Lain

Dan, kisah berikut ini sebenarnya tidak ingin saya sampaikan, bahkan mungkin tidak boleh saya sampaikan. Akan tetapi karena melihat faedah yang begitu besar maka saya nekat menyampaikannya. Semoga Allah memaafkan saya.

Syaikh pernah memberikan bantuan kepada salah seorang ikhwah berupa sejumlah uang karena waktu itu ada yang mengabarkan kepada beliau bahwasanya istri ikhwan tersebut telah melakukan operasi caesar. Maka tatkala beliau masuk kelas untuk mengisi kuliah, dan melihat ikhwan tersebut hadir di kuliah, beliau berkata kepada ikhwan tersebut dengan suara lirih, “Fulan, saya ingin berbicara denganmu setelah pelajaran.”

Setelah selesai pelajaran, seperti biasa para mahasiswa berkumpul di sekeliling beliau untuk menanyakan permasalahan-permasalahan agama, dan si ikhwan juga mengikuti beliau. Hingga saat mahasiswa bubar meninggalkan beliau maka beliau pun mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya kepada si ikhwan tersebut sembari berkata, “Uang ini bukan hanya dari saya, tapi dari beberapa orang baik. Saya harap jangan kau ceritakan kepada siapa pun juga, dan lupakanlah pemberian saya ini. Anggap saja seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.”

Subhanallah! Lihatlah dua pelajaran yang bisa kita ambil dari perkataan beliau ini.

Yang pertama, beliau menjelaskan bahwa uang ini bukan hanya berasal dari beliau. Hal ini menunjukkan keikhlasan beliau, dan jauhnya beliau dari sikap ingin dipuji. Apalagi dipuji dengan sesuatu yang tidak beliau lakukan. Seandainya beliau tidak mengatakan demikian, tentunya saya akan mengira bahwasanya uang tersebut seluruhnya berasal dari beliau. Dan, sebenarnya beliau tidak perlu menjelaskan bahwa uang tersebut bukanlah seluruhnya dari beliau, yang penting tujuannya adalah bantuan tersampaikan kepada yang membutuhkan.

Hal semacam ini aku saksikan lagi ketika beliau di Jakarta. Saat itu, ada seseorang ustadz yang datang kepada beliau dan menceritakan kerinduannya untuk bertemu Syaikh, bahkan meskipun harus meninggalkan istrinya yang sakit dan ada kemungkinan harus dioperasi. Bahkan sampai orang tersebut menangis di hadapan Syaikh karena sudah lama dia tidak mendengar nasihat-nasihat yang berharga dari para ulama. Setelah ustadz tersebut pergi, beliau meminta salah seorang donatur kalau tidak keberatan untuk menanggung biaya operasi istri ustadz tersebut. Sang donatur pun bersedia. Setelah itu Syaikh pun menelepon sang Ustadz dan meminta nomor rekening, kemudian beliau berkata, “Kami akan mentransfer uang ke rekeningmu sejumlah lima juta rupiah. Tapi uang tersebut bukan dari saya, ada seorang donatur yang memberikannya hadiah untukmu.”

Kejadian yang lain, suatu saat ada seorang ikhwan yang mengunjungi rumah Syaikh, maka Syaikh pun bertanya, “Apakah engkau liburan di negaramu pada liburan musim panas kemarin?”

“Alhamdulillah,” jawab ikhwan tersebut.

Syaikh pun bertanya lagi, “Bagaimana keadaan ibumu? Apakah engkau bertemu dengannya?”

Maka sang ikhwan terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya tidak sempat mengunjungi ibu saya karena tempatnya yang jauh dari ibu kota negara saya, dan saya hanya berlibur sekitar sepekan saja di sana. Jadi, saya hanya menelepon beliau.”

Syaikh pun terlihat kaget, lalu mulailah syaikh menasihati ikhwan tersebut akan pentingnya bertemu dengan ibunya bahwa itu merupakan amalan yang luar biasa di hadapan Allah. Berlinanganlah air mata sang ikhwan, bahkan semakin deras mengingat sikapnya yang salah dengan tidak menyempatkan waktu untuk mengunjungi ibunya.

Sambil terisak-isak, sang ikhwan berkata, “Saya sebenarnya ingin menemui ibu saya. Hanya saja, saya tidak punya biaya untuk pergi ke tempat beliau. Tiket pesawat cukup mahal, dan saat itu saya tidak punya uang.”

Syaikh lalu berkata, “Usahakan ibumu untuk bisa naik haji, nanti masalah biaya saya yang atur.”

Beberapa hari kemudian, Syaikh memberikan seluruh ongkos naik haji kepada sang ikhwan, sambil berkata, “Ini biaya dari salah seorang donatur.”

Demikianlah Syaikh, apabila suatu amalan kebaikan bukan berasal dari beliau maka beliau pun mengabarkannya dengan terus terang agar tidak disangka beliau yang melakukan amal tersebut.

Hal ini tentunya berbeda dengan kenyataan sebagian orang. Ada sebagian orang yang hanya berperan sebagai perantara (penyalur) dari sumbangan yang berasal dari orang lain, tetapi mereka mengesankan kepada masyarakat atau kepada penerima sumbangan seakan-akan bantuan tersebut keluar dari kantong dan usaha mereka sendiri. Bahkan, mereka menyebut-nyebut hal ini untuk mengingatkan kepada si penerima sumbangan agar jangan melupakan jasa mereka.

Apakah mereka tidak takut termasuk dalam sifat orang-orang yang tercela yang difirmankan Allah:

وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا

Mereka suka dipuji pada perkara yang tidak mereka lakukan. (Q.S. Ali Imran: 188)

Sikap buruk ini –ingin dipuji dengan sesuatu yang tidak dimiliki- telah diperingatkan dan dicela oleh Nabi dalam sabdanya :

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كلَابِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ

“Barang siapa yang bergaya (berhias) dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka sesungguhnya dia telah memakai dua baju kedustaan.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya no 5219 dan Al-Imam Muslim dalam shahihnya no 2130)

Asbabul wurud hadits ini adalah:

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي ضَرَّةً فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ مِنْ زَوْجِي غَيْرَ الَّذِي يُعْطِينِي

“Ada seorang wanita yang berkata kepada Nabi: ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki madu. Bolehkah aku berhias di hadapannya dengan sesuatu yang tidak diberikan suamiku kepadaku?”

Maksudnya adalah dengan berpura-pura suaminya memberikan sesuatu kepadanya, sehingga seakan-akan suaminya lebih sayang kepadanya. Hal ini tentu akan menjadikan madunya teperdaya dan menyangka suaminya benar-benar melakukan hal tersebut.

Ada beberapa penafsiran dari kalangan ulama tentang maksud hadits ini, di antaranya:

1. Maksud Nabi dengan dua pakaian kedustaan adalah seseorang yang memakai pakaian dengan gaya pakaian ahli zuhud sehingga masyarakat yang melihatnya akan menyangka dia termasuk orang yang zuhud, padahal hakikatnya tidaklah demikian. Atas penafsiran ini, yang dimaksud Nabi dari dua kain kedustaan adalah izar dan ridda’ yang dipakai oleh orang-orang zuhud.

2. Maksud Nabi dengan dua pakaian kedustaan adalah seakan-akan dia telah menunjukkan dua kedustaan kepada dua orang lain. Penafsiran ini lebih dekat kepada asbabul wurud, karena wanita tersebut telah menampakkan dua kedustaan kepada madunya. Dusta yang pertama: dia berdusta bahwa suaminya telah memberikannya sesuatu. Dusta yang kedua: wanita tersebut menampakkan kepada madunya seakan-akan dia lebih dicintai oleh suaminya dari pada madunya, dengan dalil dia telah diberikan sesuatu dari suaminya yang tidak diberikan kepada madunya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi 6/153-154).

Namun, maksud dari kedua tafsiran ini adalah sama dan berdekatan maknanya. Hadits yang kelihatannya sederhana ini ternyata merupakan cambuk yang sangat pedas terhadap sebagian orang yang mencoba menampakkan kepada orang lain akan kehebatan yang tidak dimilikinya. Oleh karena itu, sungguh hati ini tersayat tatkala melihat praktik sebagian kita yang terkena ancaman hadits ini. Di antara praktik-praktik yang pernah dilakukan tersebut adalah:

a. Ada yang menerjemahkan naskah ceramah atau tulisan seorang ulama, lantas dia mengesankan bahwa dialah yang telah berletih-letih menyusun tulisan tersebut. Bahkan, sebagaimana yang pernah saya lihat di sebuah tabloid Ahlus Sunah, ada yang menerjemahkan makalah seorang ulama, lantas nama ulama tersebut sama sekali tidak disebutkan. Dia dengan tanpa malu mencantumkan namanya sebagai penulis makalah tersebut. Tentunya orang awam tidak tahu akan hal ini, akan tetapi sebagian orang yang sedikit sering menelaah buku para ulama akan mengetahui hal tersebut. Sungguh, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam: “Dia telah memakai dua pakaian kedustaan.” Andaikata dia menjelaskan bahwa dia hanyalah penerjemah, tentunya itu lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah; jujur bahwa dia sekadar penerjemah, dan jujur bahwa ilmunya belum sampai untuk menulis seperti tulisan ulama tersebut.

b. Ada juga orang yang meringkas tulisan dari buku atau makalah tentang sebuah permasalahan fikih, terutama permasalahan fiqh yang cukup pelik, lantas dia mengesankan kepada pembaca seakan-akan dia yang telah membahas permasalahan tersebut. Padahal dia hanya menukil atau meringkas.

c. Saya juga mendapati sebagian orang tatkala menyalurkan sumbangan dari para donatur, mengesankan kepada para penerima sumbangan seakan-akan dialah yang telah mengeluarkan dana. Padahal dia hanya sebagai penyalur.

d. Sebagian orang yang dipercayai para donatur luar negeri untuk membangun masjid kadang mengesankan kepada para donatur bahwasanya dia mampu membangun masjid yang bagus dengan dana yang sedikit. Padahal, perkaranya tidak demikian, karena sebagian dana bersumber dari masyarkat setempat.

Syukurlah, kepiluan hati ini terobati tatkala melihat betapa banyak saudara-saudaraku, baik yang belajar di Madinah, Qosim, Yaman, bahkan yang tidak pernah belajar Timur Tengah sekalipun, banyak berkarya dengan karya-karya ilmiah yang menunjukkan kepiawaian ilmu mereka. Segala puji bagi Allah atas nikmat yang telah Ia anugerahkan kepada mereka.



Pelajaran kedua : Perkataan Syaikh: “Saya harap jangan kauceritakan kepada siapa pun juga, dan lupakanlah pemberian saya ini. Anggap saja seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa,” sungguh menunjukkan ketulusan hati dan keikhlasan niat beliau. Saya teringat nasihat Abu Hazim Salamah bin Dinar:

اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam “Al-Ma’rifah wa At-Tarikh” (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasq (22/68))

Dalam riwayat yang lain beliau berkata:

أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu. Dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500)



Maka, mencermati apa yang dilakukan oleh Syaikh sebagaimana dalam cerita di atas, saya yakin semua itu beliau lakukan karena keikhlasan. Karena beliau tidak mau tersohor. Dan, bukankah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَاضَعَ لله رَفَعَهُ اللهُ

Barang siapa yang bersikap tawadhuk (merendah) maka Allah akan mengangkatnya. (Hadits shahih dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam as-Shahihah no 2328)

Demikianlah, sikap beliau yang tidak ingin dipuji dan tidak ingin tersohor justru yang membuat beliau tersohor.

Para pembaca budiman, demikanlah kira-kira sosok Syaikh Abdurrozzaq, yang semua ini semakin menambah keraguan saya untuk melanjutkan kisah tentang beliau selama saya menemani perjalanan beliau di Indonesia. Sekali lagi, keraguan tersebut akhirnya terkalahkan mengingat banyaknya faedah yang bisa diambil, serta permintaan dari banyak pihak yang menghendaki saya melanjutkan menulisnya semata-mata agar lebih luas manfaat tersebut tersebarkan.

bersambung ...

Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr -hafizhahullah- (seri 2)

(dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA"

(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)

Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda)

Menolak Penulisan Gelar dan Menolak Tersohor

Sangat sedikit orang yang memiliki gelar dan memang layak memiliki gelar tersebut. Dan lebih sedikit lagi jumlahnya, orang-orang yang enggan mencantumkan gelar-gelar yang layak mereka sandang. Syaikh Abdurrozaq adalah satu di antara yang sedikit tersebut. Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdulmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor. Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut. Padahal sudah belasan tahun –bahkan hampir 20 tahun- beliau menyandang gelar professor, mengingat beliau memperoleh gelar tersebut dalam usia yang masih relatif muda. Hal ini dikarenakan karena beliau sangat produktif dalam menelurkan karya-karya ilmiah yang sangat berharga.

Saat Radiorodja ingin menulis undangan kepada beliau untuk datang ke Indonesia, beliau ingatkan untuk tidak perlu mencantumkan dalam undangan tersebut bahwasanya beliau akan menyampaikan kajian di Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar di Indonesia. Beliau katakan cukup dicantumkan bahwa beliau akan mengisi di Radiorodja. Bahkan, tatkala pihak Radiorodja menyampaikan kepada beliau bahwa ada salah satu stasiun televisi yang ingin meliput kajian beliau dan juga ada sebagian wartawan yang ingin mewawancarai beliau maka beliau menolak.



Menyembunyikan Tangis untuk Menjaga Keikhlasan

Sesungguhnya insan yang selalu dekat dengan Tuhannya, niscaya lembutlah hatinya. Hati yang lembut begitu mudah disentuh oleh perasaan khauf (takut kepada Allah) dan raja’ (berharap pada-Nya). Hati yang lembut pun bukan hanya mudah tersentuh, namun juga mudah ‘menyentuh’ hati orang lain.

Saat saya kuliah di semester 1 Fakultas Hadits, Syaikh Abdurrozaq menyampaikan muhadharah tentang iman kepada Hari Kiamat. Beliau dengan sangat menggebu-gebu menyampaikan dahsyatnya hari kiamat sehingga timbul rasa “khauf” yang amat sangat dalam hati kami, para mahasiswa. Namun, tiba-tiba beliau terdiam, bahkan terpaku membisu. Kami pun terkejut, ada apa gerangan…?

Beliau terus membisu hingga sekitar beberapa menit lamanya. Saat itulah saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Hati saya pun semakin bertanya-tanya, “Mengapa Syaikh menahan tangisnya? Bukankah jika beliau menangis di hadapan kami maka akan semakin menambah haru suasana dan menambah hidup wejangan-wejangan beliau?”

Belakangan, setelah lama saya belajar, baru saya paham bahwa ternyata keikhlasan memang perkara yang sangat berat lagi sangat mahal harganya. Lebih berat lagi adalah menjaga keikhlasan setelah memperolehnya. Dan, memang merupakan kenyataan, bisa jadi seseorang ditimpa penyakit ujub tatkala dia mampu menangis di hadapan orang banyak. Bisa jadi… meskipun itu tidak lazim.

Pada kesempatan lain, beliau mengisi pengajian di Masjid Nabawi dan menyampaikan materi tentang berbakti kepada kedua orang tua. Saat itu beliau menjelaskan bahwa adanya orang tua di sebuah rumah merupakan hiasan rumah tersebut. Keberadaan orang tua menjadikan kehidupan di dalam sebuah rumah menjadi indah, dan ketiadaan mereka membuat kehidupan di rumah terasa gersang. Tiba-tiba nada suara beliau berubah seperti orang yang hendak menangis. Beliau pun terdiam beberapa menit. Kemudian, beliau memberi isyarat seakan-akan beliau hendak minum. Lantas, tatkala beliau memegang gelas untuk minum, tangan beliau gemetar. Hampir-hampir air yang ada di gelas itu tertumpah.

Subhanallah… beliau berusaha menutupi tangisan dengan minum air agar tidak ketahuan oleh para hadirin. Padahal, saat itu terdapat ratusan hadirin, bahkan merupakan jumlah hadirin terbanyak di majelis-majelis ilmu yang ada di Masjid Nabawi saat itu.

Hal serupa terjadi saat beliau mengisi acara di Radiorodja. Saat itu, beliau menyampaikan kepada Radiorodja akan kerinduan beliau untuk berkunjung ke studio Radiorodja secara langsung, dan beliau mengucapkan terima kasih kepada kru Radiorodja. Saking terharunya, tiba-tiba beliau terdiam. Saya yang sudah siap menerjemahkan perkataan beliau, tersentak kaget. Saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Beliau ternyata sedang menahan tangis.

Peristiwa ini sekaligus menunjukkan betapa tawadhuk sikap Syaikh, sehingga beliau yang menyampaikan rasa terima kasih kepada kru Radiorodja secara langsung. Tatkala kru Radiorodja menyampaikan rasa gembira atas kesediaan beliau datang ke Jakarta, beliau langsung menimpali, “Saya yang harus berterima kasih kepada Radiorodja yang telah memberi saya kesempatan untuk bisa menyampaikan dakwah.”

Subhanallah…! Sungguh sikap tawadhu yang tidak dibuat-buat. Semoga Allah meninggikan derajat beliau.

Sikap lain yang menunjukan ketawadu'an syaikh, tatkala kru radiorodja mengabarkan kepada syaikh bahwa ternyata yang menghadiri tabligh akbar syaikh Abdurrozzaq dengan materi yang berjudul "Sebab-sebab kebahagiaan" berjumlah lebih dari 100 ribu peserta, dan ini merupakan rekor terbaru, karena masjid istiqlal tidak pernah dihadiri oleh jema'ah pengajian seramai ini dalam sejarah Indonesia. Maka syaikh dengan tersenyum berkata, "Mereka para hadirin yang datang bukan karena aku akan tetapi karena si penerjemah Firanda". Spontan kamipun tertawa tatkala mendengar hal ini.

Ada juga kejadian lain yang tidak kalah menarik yang menunjukan sikap tawadhu syaikh, yaitu suatu ketika tatkala syaikh mengisi pengajian di radiorodja ada seseorang yang bertanya kepada beliau, dan sebelum bertanya penanya tersebut berkata, "Wahai syaikh, aku setiap mendengar pengajian yang Anda sampaikan hatiku menjadi lembut, dan aku lihat dari tutur kata Anda tatakala menyampaikan pengajian menunjukan bahwa Anda adalah orang yang berhati lembut". Syaikh berkata mengomentari perkataan si penanya ini, "Adapun perkataan si penanya bahwa aku berhati lembut, maka itu hanyalah persangkaan penanya saja, dan aku berharap dan berdoa agar Allah menjadikan aku berakhlak mulia, dan juga para pendengar radiorodja sekalian". Subhaanallah, sungguh sikap tawadhu dan tidak terpedaya dengan pujian yang sampai kepada beliau.

Sungguh aku sangat merasa bagaimana beratnya ujian yang dihadapi oleh syaikh, bayangkan saja jika kita menyampaikan pengajian dan ternyata yang hadir sangatlah buaanyaak, tidak usah hinggga seratus ribu orang. Taruhlah yang hadir hanyalah seribu orang… betapa akan timbul berbagai banyak perasaan dalam hati kita, tercampur antara riya dan ujub.



Adapun mengenai upaya Syaikh untuk menyembunyikan tangis di hadapan orang lain, Saya teringat kisah salah seorang salaf ketika menyampaikan sebuah nasihat tiba-tiba dia pun menangis karena terharu dengan nasihat tersebut, lantas untuk menutupinya, beliau berkata, “Sesungguhnya influensa itu berat.” Ulama salaf tersebut adalah Ayyub As-Syikhtiyani, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Ar-Riqqah wal Buka:

قال حماد بن زيد: ذَكَرَ أَيُّوْبُ يَوْمًا شَيْئًا ، فَرَقَّ ، فَالْتَفَتَ كَأَنَّهُ يَتَمَخَّطُ . ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَقَالَ: « إِنَّ الزُّكَّامَ شَدِيْدٌ عَلَى الشَّيْخِ »

Hammad bin Zaid berkata, “Suatu hari Ayyub menyebutkan sesuatu kemudian dia pun terenyuh, lantas dia memalingkan wajahnya seakan-akan hendak buang ingus. Kemudian dia kembali menghadap kami dan berkata, ‘Sesungguhnya flu berat bagi Syaikh.’”

Syaikh Ayyub As-Syikhtiyani menggambarkan kepada orang-orang di sekitarnya seakan-akan beliau sakit flu, padahal beliau tidak sakit flu, oleh karena itu beliau tidak berkata, “saya sedang flu,” namun beliau berkata, “Penyakit flu itu berat.”

Subhanallah! Keikhlasan memang sulit. Namun lebih sulit lagi menjaga keikhlasan setelah seseorang meraihnya.


bersambung ...

Madinah, 25 04 1432 H / 30 03 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com